Pendidikan secara umum adalah sebagai
suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak dan budi mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada intinya pendidikan adalah
suatu proses yang disadari untuk mengembangkan potensi individu sehingga
memiliki kecerdasan pikir, emosional, berwatak dan berketerampilan
untuk siap hidup ditengah-tengah masyarakat. Prinsip dasar dari
pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia, mengembangkan potensi
dasar peserta didik agar berani dan mampu menghadapi problema yang
dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu, dan senang meningkatkan fitrahnya
sebagai khalifah di muka bumi, sehingga terdorong untuk memelihara diri
sendiri maupun hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan atau belajar adalah sebagai
proses menjadi dirinya sendiri (process of becoming) bukan proses untuk
dibentuk (process of beings haped) menurut kehendak orang lain, maka
kegiatan belajar harus melibatkan individu atau client dalam proses
pemikiran apa yang mereka inginkan, mencari apa yang dapat dilakukan
untuk memenuhi keinginan itu, menentukan tindakan apa yang harus
dilakukan, dan merencanakan serta melakukan apa saja yang perlu
dilakukan untuk mewujudkan keputusan itu. Dapat dikatakan disini tugas
pendidik pada umumnya adalah menolong orang belajar bagaimana memikirkan
diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka sendiri dan
mempertimbangkan pandangan dan interest orang lain. Dengan singkat
menolong orang lain untuk berkembang dan matang. Dalam andragogi,
keterlibatan orang dewasa dalam proses belajar jauh lebih besar, sebab
sejak awal harus diadakan suatu diagnosa kebutuhan, merumuskan tujuan,
dan mengevaluasi hasil belajar serta mengimplementasikannya secara
bersama-sama. Berdasarkan
pengertian ini pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu kegiatan pendidikan disamping bimbingan dan latihan
Dalam membantu penyediaan pendidikan
bagi masyarakat yang karena sesuatu hal tidak terlayani dalam jalur
sekolah formal. Secara konsep pendidikan nonformal harus bertumpu pada
kebutuhan masyarakat, bukan pada keinginan pemerintah (Aliasar 2005).
Artinya bahwa sebelum program pendidikan masyarakat dikembangkan perlu
dipahami dengan benar apa dan bagaimana kebutuhan masyarakat
sesungguhnya. Untuk itu perlu kajian analisis kebutuhan (need assesment)
sehingga program yang disuguhkan kepada masyarakat betul-betul mereka
butuhkan dan ditunjang dengan sumber daya alam sekitarnya yang dapat
menunjang kepada kompetensi yang mereka miliki. Begitupun untuk
pengelolaannya harus diserahkan pada masyarakat, dominasi pemerintah
harus dikurangi.
Pendidikan berbasis masyarakat pada
dasarnya dirancang oleh masyarakat untuk membelajarkan dirinya sendiri
melalui interaksi dengan lingkungannya, dan dengan demikian konsep
pendidikan berbasis masyarakat menjadi “dari masyarakat, oleh
masyarakat, dan untuk masyarakat . Menurut Young, (1980) mengatakan
bahwa pendidikan berbasis masyarakat menekankan pada pentingnya
pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan oleh masyarakat
dengan menggunakan potensi yang ada di lingkungannya. Aspek yang sangat
penting dalam pendidikan berbasis masyarakat anatara lain pendidikan
sepanjang hayat, keterlibatan masyarakat, keterlibatan organisasi
kemasyarakatan, dan pemanfaatan sumber daya yang kurang termanfaatkan
sebagai tempat sosial.
Selain itu, Brookfield (1987)
membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based
education) dengan pendidikan berbasis sekolah (school-based education).
Antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis masyarakat
terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkat harus
relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung
pada warga belajar, waktu belajarnya fleksibel, menggunakan konsep
keterampilan fungsional, menggunakan pendekatan andragogi (pendidikan
orang dewasa), dan tidak mengutamakan ijazah.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang berada di
masyarakat, pendidikan yang menjawab kebutuhan masyarakat, dikelola oleh
masyarakat, memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat, dan menuntut
partisipasi masyarakat.
Metode pembelajaran orang dewasa
Konsep dan metode pembelajaran orang
dewasa adalah dengan membelajarkan orang dewasa melalui pendidikan orang
dewasa harus dilakukan dengan metode dan strategi yang sesuai yang
disebut dengan metode andragogi. Orang dewasa sebagai siswa dalam
kegiatan belajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa
yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. Harus dipahami bahwa
orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep
diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa
kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.
Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa,
orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep
diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa
kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.
Salah satu aspek penting dalam
pendidikan saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai konsep
pendidikan untuk orang dewasa. Tidak selamanya kita berbicara dan
mengulas di seputar pendidikan murid sekolah yang relatif berusia muda.
Kenyataan di lapangan, bahwa tidak sedikit orang dewasa yang harus
mendapat pendidikan baik pendidikan informal maupun nonformal, misalnya
pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan
sebagainya.
Masalah yang sering muncul adalah
bagaimana kiat, dan strategi membelajarkan orang dewasa yang notabene
tidak menduduki bangku sekolah. Kematangan psikologi orang dewasa
sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri ini mendorong
timbulnya kebutuhan psikologi yang sangat dalam yaitu keinginan
dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan
dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa dan dimanipulasi oleh orang
lain. Dengan begitu apabila orang dewasa menghadapi situasi yang tidak
memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri maka dia akan merasa
dirinya tertekan dan merasa tidak senang. Karena orang dewasa bukan anak
kecil, maka pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan
pendidikan anak sekolah. Perlu dipahami apa pendorong bagi orang dewasa
belajar, apa hambatan yang dialaminya, apa yang diharapkannya, bagaimana
ia dapat belajar paling baik dan sebagainya (Lunandi, 1987).
Pemahaman terhadap perkembangan kondisi
psikologi orang dewasa tentu saja mempunyai arti penting bagi para
pendidik dan tenaga pendidik pendidikan nonformal dalam menghadapi orang
dewasa sebagai siswa. Berkembangnya pemahaman kondisi psikologi orang
dewasa semacam itu tumbuh dalam teori yang dikenal dengan nama
andragogi. Andragogi sebagai ilmu yang memiliki dimensi yang luas dan
mendalam akan teori belajar dan cara mengajar. Secara singkat teori ini
memberikan dukungan dasar yang esensial bagi kegiatan pembelajaran orang
dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan atau usaha pembelajaran orang dewasa
memerlukan pendekatan khusus dan harus memiliki pegangan yang kuat akan
konsep teori yang didasarkan pada asumsi atau pemahaman orang dewasa
sebagai siswa.
Kegiatan pendidikan baik melalui jalur
formal ataupun luar nonformal memiliki daerah dan kegiatan yang beraneka
ragam. Pendidikan orang dewasa terutama pendidikan masyarakat bersifat
nonformal sebagian besar dari siswa atau pesertanya adalah orang dewasa,
atau paling tidak pemuda atau remaja. Oleh sebab itu, kegiatan
pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan menggunakan teori
andragogi kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa dalam kerangka
pembangunan atau realisasi pencapaian cita-cita pendidikan seumur hidup
dapat diperoleh dengan dukungan konsep teoritik atau penggunaan
teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Salah satu masalah dalam pengertian
andragogi adalah pandangannya yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan
itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Tetapi di lain dengan
perubahan yang yang sangat cepat seperti inovasi dan perkembangan
teknologi, perubahan sistem, budaya, ekonomi, dan perkembangan politik.
Maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika remaja akan menjadi
usang ketika ia dewasa. Hal ini menuntut perubahan yang berkelanjutan
(sustainability) bagi pendidik.
Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa
Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa dan kendala kendala yang sering dialami dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut;
1. Pada banyak praktek, pembelajaran
untuk orang dewasa dilakukan sama saja dengan pemelajaran anak.
Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap
dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua
yang diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang
terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari
pengalaman mengajar anak-anak misalnya dalam kondisi wajib hadir dan
semua teori mengenai transaksi guru dan siswa didasarkan pada suatu
definisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan. Namun, orang
dewasa dengan berbagai latar belakang budaya adalah sebagai pribadi yang
sudah matang, dan mempunyai kebutuhan lain dalam hal menetapkan daerah
belajar di sekitar problem hidupnya. Mereka merasa malu untuk belajar,
apalagi kalau yang mengajar mereka lebih muda dari mereka.
2. Pendidikan orang dewasa dapat
diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan,
mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa yang
digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun
non-formal, baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun
sebagai pengganti pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan
kerja maupun di perguruan tinggi, yang membuat orang dewasa mampu
mengembangkan kemampuan, keterampilan, memperkaya khasanah pengetahuan,
meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau keprofesionalannya dalam
upaya mewujudkan kemampuan ganda yakni di suatu sisi mampu
mengembangankan pribadi secara utuh dan dapat mewujudkan
keikutsertaannya dalam perkembangan sosial budaya, ekonomi, dan
teknologi secara bebas, seimbang, dan berkesinambungan.
3. Pertumbuan orang dewasa dimulai
pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap
individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan
diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang
dirinya sebagai pribadi yang mandiri yang memiliki identitas diri.
Dengan begitu orang dewasa tidak menginginkan orang memandangnya apalagi
memperlakukan dirinya seperti anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan
orang lain akan otonomi dirinya, dan dijamin ketentramannya untuk
menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan ketidaksenangan akan
setiap usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah
laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti anak-anak yang
beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan, pengendalian orang
lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di
sekeliling, terhadap dirinya.
4. Pendidikan atau belajar, orang dewasa
bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan
dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang
otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar
atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada pencapaian
pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri;
atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1983), kegiatan
belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau
menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan
process of becoming a person. Bukan proses pembentukan atau process of
being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai
dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar
merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-actualization).
Uraian di atas sesuai dengan konsepsi
Rogers dalam Knowlws (1983) mengenai belajar lebih bersifat client
centered. Dalam pendekatan ini Roger mendasarkan pada beberapa hipotesa
berikut ini yang merupakan rekomendasi dalam proses pelaksanaan
pendidikan yang mengandung pendidikan:
1.Bahwa setiap individu hidup dalam
dunia pengalaman yang selalu berubah dimana dirinya sendiri adalah
sebagai pusat, dan semua orang mereaksi seperti dia mengalami dan
mengartikan pengalaman itu. Ini berarti bahwa dia menekankan bahwa makna
yang datang dari makna yang dimiliki. Dengan begitu, belajar adalah
belajar sendiri dan yang tahu seberapa jauh dia telah menguasai sesuatu
yang dipelajari adalah dirinya sendiri. Dengan hipotesa semacam ini maka
dalam kegiatan belajar, keterlibatan peserta didik secara aktif
mempunyai kedudukan sangat penting dan mendalam.
2.Seseorang belajar dengan penuh makna
hanya apabila sesuatu yang dia pelajari bermanfaat dalam pengembangan
struktur dirinya. Hal ini menekankan pentingnya program belajar yang
relevan dengan kebutuhannya, yaitu yang memberi manfaat bagi dirinya.
Artinya tidak sekedar memperoleh pengetahuan, tetapi yang lebih pokok
adalah memperoleh keteramplian yang dapat menunjang hidupnya saat itu.
3.Penciptaan iklim yang menyenangkan, penerimaan, dan saling bantu dengan menanamkan kepercayaan dan tanggung jawab.
4.Perbedaan persepsi setiap individu
diberikan perlindungan. Ini berarti di samping perlunya memberikan iklim
belajar yang aman, juga perlu pengembangan otonomi kepada setiap
individu.
Dalam hal ini, terkandung di dalamnya
perwujudan yang ingin dikembangkan dalam aktivitas kegiatan pendidikan.
Pertama untuk mewujudkan pencapaian perkembangan setiap individu, dan
kedua untuk mewujudkan peningkatan keterlibatannya (partisipasinya)
dalam aktivitas sosial dari setiap individu yang bersangkutan. Tambahan
pula, bahwa pendidikan mencakup segala aspek pengalaman belajar yang
diperlukan,
Dengan demikian hal itu dapat berdampak
positif terhadap keberhasilan pembelajaran yang tampak pada adanya
perubahan perilaku ke arah pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan
yang memadai. Di sini, setiap individu yang berhadapan dengan individu
lain akan dapat belajar bersama dengan penuh keyakinan. Perubahan
perilaku dalam hal kerjasama dalam berbagai kegiatan, merupakan hasil
dari adanya perubahan setelah adanya proses belajar, yakni proses
perubahan sikap yang tadinya tidak percaya diri menjadi perubahan
kepercayaan diri secara penuh dengan menambah pengetahuan atau
keterampilannya. Perubahan perilaku terjadi karena adanya perubahan
(penambahan) pengetahuan atau keterampilan serta adanya perubahan sikap
mental yang sangat jelas, dalam hal pendidikan tidak cukup hanya dengan
memberi tambahan pengetahuan, tetapi harus dibekali juga dengan rasa
percaya yang kuat dalam pribadinya. Pertambahan pengetahuan saja tanpa
kepercayaan diri yang kuat, niscaya mampu melahirkan perubahan ke arah
positif berupa adanya pembaharuan baik fisik maupun mental secara nyata,
menyeluruh dan berkesinambungan.
Perubahan perilaku dalam pembelajaran
terjadi melalui adanya proses pendidikan yang berkaitan dengan
perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini, sangat
memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk
meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang
lain, disebabkan produktivitas yang lebih meningkat. Bagi peserta didik
pemenuhan kebutuhannya sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu
terpenuhi ia dapat beralih ke arah usaha pemenuhan kebutuhan lain yang
lebih masih diperlukannya sebagai penyempurnaan hidupnya.
Artinya setiap individu wajib terpenuhi
kebutuhannya yang paling dasar (sandang dan pangan), sebelum ia mampu
merasakan kebutuhan yang lebih tinggi sebagai penyempurnaan kebutuhan
dasar tadi, yakni kebutuhan keamanaan, penghargaan, harga diri, dan
aktualisasi dirinya. Bilamana kebutuhan paling dasar yakni kebutuhan
fisik berupa sandang, pangan, dan papan belum terpenuhi, maka setiap
individu belum membutuhkan atau merasakan apa yang dinamakan sebagai
harga diri. Setelah kebutuhan dasar itu terpenuhi, maka setiap individu
perlu rasa aman jauh dari rasa takut, kecemasan, dan kekhawatiran akan
keselamatan dirinya, sebab ketidakamanan hanya akan melahirkan kecemasan
yang berkepanjangan. Kemudian kalau rasa aman telah terpenuhi, maka
setiap individu butuh penghargaan terhadap hak azasi dirinya yang diakui
oleh setiap individu di luar dirinya. Jika kesemuanya itu terpenuhi
barulah individu itu merasakan mempunyai harga diri. Dalam kaitan ini,
tentunya pendidikan orang dewasa yang memiliki harga diri dan jati
dirinya membutuhkan pengakuan, dan itu akan sangat berpengaruh dalam
proses belajarnya. Secara psikologis, dengan mengetahui kebutuhan orang
dewasa sebagai peserta kegiatan pendidikan/pelatihan, maka akan dapat
dengan mudah dan dapat ditentukan kondisi belajar yang harus diciptakan,
isi materi apa yang harus diberikan, strategi, teknik serta metode apa
yang cocok digunakan.
Dalam kegiatan pendidikan atau belajar,
orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah
dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan
memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan
belajar atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada
pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya
sendiri; atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1983),
kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi
atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan
process of becoming a person. Bukan proses pembentukan atau process of
being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai
dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar
merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-actualization).
Seperti telah disebutkan di atas bahwa
dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan
konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan
dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang
mengarahkan dirinya sendiri. Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga
pemuda atau remaja juga memiliki kebutuhan semacam itu. Sesuai teori
Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dari kurang lebih 12 tahun
ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam
istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam
tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala
persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat memecahkan
masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai
kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai
mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy)
yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda
dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat
mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan
benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai
mempertanyakan dan membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan
selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat
dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu
terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa
setiap orang (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan
dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan
antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena
itu, dapat dikatakan sejak pertengaham masa remaja individu
mengembangkan apa yang dikatakan “pengertian diri (sense of identity).
Selanjutnya, Rogers (1983) mengembangkan
konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi.
Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut.
Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan
matang konsep dirinya bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah
pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada
anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa
konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah
orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang
dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana
dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul
reaksi tidak senang atau menolak.
Asumsi kedua, sebagaimana individu
tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini
menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu
yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang
baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan
penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan
tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman
(experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja
laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak
dipakai.
Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu
secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit,
pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dan orang dewasa
untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu,
sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses
integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini
Kartono, 1992). Sejalan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu
menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang ditentukan oleh
paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lebih ditentukan
oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan
sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena
membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi
peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi,
dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan
akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas
peran sosialnya.
Asumsi keempat, bahwa anak-anak sudah
dikondisikan untuk memiliki orientasi belajar yang berpusat pada mata
pelajaran (subject centered orientation) karena belajar bagi anak
seolah-olah merupakan keharusan yang dipaksakan dari luar. Sedang orang
dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada
pemecahan masalah kehidupan (problem-centered-orientation). Hal ini
dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan
untuk menghadapi masalah hidupnya.
Pembahasan
Pembelajaran yang diberikan kepada orang
dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya),
bilamana pembimbing (tutor, pengajar, pamong, instruktur, dan
sejenisnya) tidak terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak
bicara, namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu
menemukan alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka.
Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan
dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan
yang diajukan mereka. Orang dewasa pada hakekatnya adalah makhluk yang
kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada
dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat
khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itu,
orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut
dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka
dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka
merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya.
Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat
pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran
pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu
menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Percaya diri
Oleh karena sifat belajar bagi orang
dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau
salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem
nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan)
harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa.
Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan
kepercayaan dari pembimbingnya, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai
kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka
suasana belajar yang kondusif tak akan pernah terwujud.
Sistem nilai
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang
berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan
terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati
dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling
berbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam
suasana/ situasi belajar yang bagaimanapun, mereka boleh berbeda
pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu
sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll). Dalam konteks ini harus
dipahami latar belakang dan budaya mereka, serta kondisi ekonominya.
Keterbukaan
Keterbukaan seorang pembimbing sangat
membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi
pribadinya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan
untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan
berdampak baik bagi kesehatan psikologis, dan psikis mereka. Di samping
itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa
mendapat ejekan, hinaan, atau dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah
diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai
alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan dapat diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikan
bahwa orang dewasa belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat
kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui
sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak
harus selalu sama dengan pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok
tidak selalu harus sama dalam pribadi, sebab akan sangat membosankan
kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran tanpa
adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersebut. Oleh sebab itu,
latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman
masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang berbeda pada
setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana
belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka
mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan
sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh.
Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun
kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari
belajar.
Pada akhirnya, orang dewasa ingin tahu
apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada
kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan
demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota
kelompok dirasakannya berharga untuk bahan renungan, di mana renungan
itu dapat mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa
saja memiliki perbedaan.
Kerjasama
Untuk itu perlu dikembangkan konsep
Masyarakat Belajar (learning community). Konsep learning community
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan
orang lain. Ketika seorang anak baru belajar memainkan game pada alat
elektroniknya, ia bertanya kepada temannya “Bagaimana caranya? Tolong
bantuin, aku! Lalu temannya yang sudah biasa, menunjukkan cara
mengoperasikan alat itu. Maka, dua orang itu sudah membentuk masyarakat
belajar (learning community). Hal-hal seperti ini menjadi penting
sebagai sebuah konsep dasar dalam pembelajaran pada pendidikan
nonformal.
Hasil belajar diperoleh dari
Ëœsharingâ„¢ antara teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang
belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, disekitar sini, juga orang-orang
yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar. Dalam
kelompok-kelompok yang anggotanya hetorogen seharusnya anak yang
terampil/kaya ide membantu yang tidak mampu, yang pandai mengajari yang
lemah dan begitu seterusnya. Proses ini akan memberikan perubahan
perilaku (entering behavior).
Dalam interaksi seperti ini dalam
“Masyarakat belajar perlu komunikasi dua arah. “Seorang pendidik yang
mengajar siswanya bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi
hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari pendidik ke
arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari pendidik yang
datang dari arah siswa. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau
lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
Hubungannya dengan masyarakat belajar adalah;
1.Untuk membantu masyarakat menghadapi sesuatu secara objektif
2.Untuk memperlengkapi orang dewasa dengan keterampilan memecahkan masalah
3.Untuk membantu masyarakat dalam merubah kondisi sosial mereka
4.Untuk membantu masyarakat memperoleh informasi yang diperlukan guna melengkapi kehidupan mereka.
Kegiatan saling belajar (kerjasama) ini
bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi,
tidak ada pihak yang merasa sungkan untuk bertanya, tidak ada pihak yang
menganggap paling tahu, semua pihak harus saling mendengarkan. Kalau
setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa
manjadi sumber belajar, dan ini berarti bahwa setiap orang akan sangat
kaya dengan pengetahuan dan pengalaman.
Artinya dalam membentuk masyarakat
belajar, konsep pilar belajar dari UNESCO (1996:71) perlu dikembangkan
seperti; learning to know, learning to do, learning to be, learning to
life together, and learning to believe in God, yang merupakan akumulasi
dari berbagai pengetahuan keterampilan yang diperoleh sejak masa
kanak-Manusia yang telah dibekali dengan pilar Learning to know akan
memiliki sejumlah pengetahuan dan ketrampilan berpikir. Gabungan
pengetahuan dan ketrampilan berpikir tersebut dapat dikembangkannya
untuk kemampuan berbuat, meningkatkan kualitas diri, kemampuan untuk
bekerjasama dengan orang lain, dan peningkatan kualitas hidup sebagai
makhluk yang beragama. 2) Learning to do, dalam kehidupan manusia adalah
adanya dorongan untuk berkreasi, memecahkan masalah dan mengadakan
inovasi-inovasi. Dasar ini berangkat dari adanya pengetahuan yang
dimiliki yang digunakannya untuk identitas dirinya dan kemaslahatan
orang banyak berdasarkan kepercayaan yang dimilikinya. 3) Learning to
be, menjadikan manusia hidup mandiri tanpa adanya ketergantungan pada
pihak lain. Berdasarkan hal ini, manusia mempunyai kebebasan untuk
mendapatkan sesuatu atau bertindak. Atas dasar ini manusia tersebut
bebas memilih ilmu apa yang ingin didapatkannya, bebas menentukan dalam
bekerjasama dengan orang lain yang didasarkan atas norma-norma atau
ajaran agama yang dianutnya. 4) Learning to live together, bahwa manusia
mempunyai keselarasan hidup di tengah-tengah masyarakat. Secara
bersama-sama mampu mendapatkan sejumlah pengetahuan, mampu berbuat
secara bersama-sama dengan tetap menghargai perbedaan individu dan
potensi masing-masing dalam kerangka bekerja bersama. Seluruh pekerjaan
tersebut dapat dipertangjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 5)
learning to believe in God, bahwa manusia mempunyai pegangan yang
universal dalam berhubungan dengan lingkungannya dan berhubungan dengan
penciptanya. Dalam artian ini bahwa pengetahuan yang dicari seseorang
harus dapat memberi manfaat untuk isi alam itu sendiri, dan bagaimana
mengelolanya untuk kebaikan bersama secara berkelanjutan (sustainable),
yang secara religius dapat dipertanggungjawabkannya kepada Yang Maha
Kuasa.
Seluruh pilar-pilar di atas merupakan
kerangka dasar yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran orang dewasa
dalam rangka mendorong terwujudnya struktur dan kultur masyarakat
belajar sepanjang hayat, sehingga setiap orang nantinya akan memiliki
kualitas hidup. Hal ini sejalan dengan amanat undang-undang No. 20 Tahun
2003
tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, bahwa; Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Daftar Pustaka
Aliasar (2005). Diskriminasi Dalam
Pelayanan Pendidikan pada Sekolah Inklusif. Makalah disampaikan pada
Seminar Analisis dengan peserta dari Dinas / Instansi terkait dalam
pengembangan pPendidikan Nasional., Padang.
Aliasar dan Jamaris Jamna (2005).
Catatan dari bahan perkuliahan Pendidikan Berkelanjutan. Padang: Program
Doktor Pascasarjana-UNP.
Maslow, Abraham H.1966, Motivation And Personality, New York : Harper And Row Publishers.
Piaget, J. (1970). Genetic Epistemology. New York: Columbia University Press
Rogers, Everett M.1983. Diffusion of Inovation, London : MacMillan Pub.
Komisi Internasional Tentang Pendidikan
untuk abad XXI, 1996, Belajar : Harta Karun di Dalamnya, Laporan Kepada
UNESCO, Jakarta, Komisis Nasional Indonesia untuk UNESCO
UU.Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, BP. Cipta Jaya
Young, Kimbal. 1980 Social Psychology, Apleton Century
http://www.imadiklus.com