VIRUZ

Eheeemmm

Bandung, 1/10 (ANTARA) - Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan program studi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) hendaknya mendorong kalangan mahasiswanya untuk dapat berperan dalam berbagai upaya dan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang terus gencar dilakukan hingga saat ini.

"Kiprah mahasiswa PLS dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan belum begitu nampak di tanah air, karena perguruan tinggi yang memproduksi sarjana PLS tidak semua perguruan tinggi negeri," kata Prof Dr HM Norsanie Darlan MSPH, guru besar PLS Universitas Negeri Palangka Raya (Unpar) saat menyampaikan kuliah umum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jumat.

Disebutkan, terlebih kiprah mahasiswa pascasarjana strata dua (S2) PLS lebih terbatas lagi dan di seluruh Indonesia hanya terdapat 18 perguruan tinggi dan enam perguruan tinggi swasta penyelenggara.

Dengan memperhatikan sebaran yang tidak merata, juga turut mempengaruhi kiprah mahasiswa PLS dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

Peran mahasiswa PLS dalam pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan melalui kuliah kerja nyata (KKN), namun kegiatan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui lembaga pengbadian kepada masyarakat itu terasa masih mengecewakan.

"Karena ada perguruan tinggi yang tidak memiliki jurusan atau program studi PLS tentunya diberikan oleh mereka yang bukan sarjana PLS dalam pembekalan KKN dan akibatnya kiprah PLS sungguh belum waktunya memberikan warna di tanah air," ucap Prof Nursanie Darlan pada kuliah umum dihadapan mahasiswa pascasarjana UPI Bandung dan Unpar Kalimantan Tengah.

Lab PLS dalam mengerahkan mahasiswa untuk praktek ke-PLS-an masih juga belum dapat mewarnai kiprahnya, karena ada dugaan di masing-masing Lab PLS di perguruan tinggi belum banyak mengadakan pertemuan sesama pengelolanya.


www.antarajawabarat.com
Read More …


Drs. Edi Basuki, M.Si



Senyatanyalah bahwa pendidikan luar sekolah (PLS) itu kurang pemasarannya, sehingga perlu mempromosikannya dalam rangka mengenalkan sosok PLS kepada pejabat terkait, baik itu di Pemda, khususnya BKD serta DPR yang membidangi pendidikan. Masalahnya, bagaimana cara menjual produk karya PLS yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itulah tunjukkan bahwa PLS bisa berbuat nyata yang dapat dilihat dan dirasakan sekaligus dibanggakan oleh ‘daerah’ pemakai lulusannya.

PLS harus mengajari serta membekali lulusannya untuk bisa “survive” dalam segala cuaca agar dapat menghidupi dirinya, baik sebagai pencipta lapangan pekerjaan secara mandiri, maupun mengabdikan tenaganya pada lembaga PNF (misalnya PKBM), disamping itu juga menyiapkan lulusan PLS untuk dapat mengisi ‘lowongan kerja’ yang disediakan oleh instansi pemerintah sebagai PNS, seperti menjadi dosen.

Hal ini menjadi benang merah yang harus dicermati dalam seminar nasional yang bertema “Kompetensi Lulusan Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Untuk Memenuhi Kebutuhan Dunia Kerja ke Depan” yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang (dahulu bernama IKIP Malang), Selasa (14/6).

Pembicara dalam acara yang di gelar di kampus yang berjuluk “The Learning University” itu adalah Wartanto, Direktur Pembinaan Kursus dan Pelatihan, Ditjen PAUDNI, Dosen PLS, Prof. Dr. Supriyono, MPd, serta seorang mentor green leaf dari The Naff, Nafiq palil, MPd, yang juga dihadiri oleh perwakilan dari anggota DPR, Dinas Pendidikan, staf BKD, Penilik, Pengelola PAUD, Pengelola PKBM dan LSM serta dari Depsos, BKKBN dan Balai Latihan Koperasi. Tidak ketinggalan para alumni serta mahasiswa jurusan PLS juga turut aktif meramaikan acaranya sehingga suasana menjadi gayeng bak reuni kecil.

Wartanto, yang juga mantan Tenaga lapangan Dikmas, mengatakan bahwa kita harus bersiap menghadapi CAFTA, ANAFTA, KAFTA dan IAFTA dengan jalan meningkatkan mutu pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, “Kedepan tenaga kerja harus memiliki sertifikat kompetensi internasional agar dapat bersaing dengan tenaga kerja asing yang sudah mulai masuk ke Indonesia. “Jangan sampai kita menjadi penonton atau sekedar kuli di negeri sendiri.” Ujarnya. Untuk bidang pendidikan nonformal, masih sering ditemui kondisi kelembagaan yang belum sesuai dengan standard an sarana prasarananya masih ala kadarnya, penghargaan dan perlindungan bagi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal (PTK-PNF) juga masih belum memadai. Untuk itulah sedikit demi sedikit pemerintah mulai memberikan dukungan sarana prasarana, mengadakan berbagai Diklat untuk meningkatkan kompetensi para penyelenggara dan pendidiknya serta mendorong terbentuknya jejaring kemitraan.

Dalam kesempatan itu, Supriyono, yang gelar doktornya diperoleh dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, menyodorkan beberapa persoalan sebagai bahan untuk pembahasan penyusunan kurikulum, diantaranya tentang perlunya jurusan PLS pengembangan pembelajaran yang berbasis pada peluang pasar, mengembangkan IPTEK yang dapat menghasilkan lulusannya yang siap menciptakan peluang kerja, bukan sekedar pencari kerja, disamping juga menyiapkan calon PTK-PNF yang handal. Disisi lain, tenaga PLS mempunyai kompetensi untuk mendidik masyarakat, sehingga perlu melakukan promosi melalui media massa serta membuat Web Alumni PLS untuk memperluas jarring kemitraan.

Sebagai praktisi pendidikan yang berbasis entrepreneur, dia mengatakan bahwa sebagian besar lulusan perguruan tinggi belum memiliki tujuan hidup yang jelas pola belajarnyapun tidak tertata dengan rapi yang dilakukan dengan penuh disiplin. Disinilah perlunya dibangun sebuah goal setting yang jelas. Masalahnya, bagaimana menyentuh sekaligus membuka konsep tentang enterprenuership kepada mahasiswa agar mereka tertarik dan tergerak untuk berbuat secara kreatif serta mendiskripsikannya dalam sebuah karya tulis.

Di depan peserta seminar, Palil juga pamer rumus sukses, yaitu “Be the first, Be the best and Be the different”, dimana jika mahasiswa bisa mengetrapkan pasti nantinya akan menjadi lulusan yang special dan mudah menemukan kesuksesan. Kalau hanya menjadi lulusan yang biasa-biasa saja, maka akan biasa saja seperti lulusan lain yang selalu sibuk mencari pekerjaan karena tidak mampu menciptakan pekerjaan, dengan demikian, di awal perkuliahan, hendaknya mahasiswa baru itu segera diajak untuk menyusun tujuan hidup (mind map) yang jelas, karena dengan tujuan hidup yang jelas, akan membuat kemajuan dalam hidupnya walaupun harus melalui jalan yang sulit, sehingga hidupnya akan bermakna bagi masyarakat dan lingkungannya walaupun sekecil apapun. “Sudah waktunya mahasiswa diperkenalkan konsep eduprenuer yang bukan sekedar kewirausahaan yang biasa diberikan dalam mata kuliah pengembangan kewirausahaan maupun sumber daya manusia. Harus ada nilai lebihnya” Kata konsultan di beberapa perusahaan besar ini. Dengan kata lain, makna entrepreneurship itu adalah mencari peluang, membangun jaringan, bekerja keras untuk berubah sesuai kebutuhan pasar serta memiliki target tertentu.

Menurut panitia, hasil seminar ini akan dijadikan bahan penyusunan kurikulum jurusan PLS yang berorientasi kepada dunia usaha dan dunia industry. sehingga pertanyaan besarnya adalah kurikulum seperti apa yang bisa menjadikan PLS itu spesial dan dapat menjawab tantangan jaman. Kiranya sumbangan pemikiran dari seluruh komponen PLS wajib diberikan. Ingat, di seluruh Indonesia masih ada sekitar 8,3 juta warga yang menyandang buta aksara. Tentunya ini menjadi tugas bersama antara pemerintah, masyarakat dan tentunya sumbangsih kalangan kampus (baca jurusan PLS) untuk menekan angka tersebut agar Indonesia benar-benar menuju masyarakat yang bebas buta akasara. Ini bisa dijadikan agenda garapan mahasiswa PLS melalui program magang/PPL, disini yang diperlukan adalah kemauan dan kreativitas dari civitas akademika. Wallahu a’lam bish showab.[ebas/bppnfi.reg4.on_line]

http://www.bppnfi-reg4.net

Read More …