VIRUZ

Eheeemmm

KBR68H - Ada banyak desa di Indonesia yang belum terbangun dengan baik dari segi infrastruktur dan ekonomi. Gambarannya masih banyak daerah yang tertinggal, sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan.
Roda perekonomian pun bergerak perlahan dan tak pasti. Oleh karena itu munculah Program PNPM Mandiri Perdesaan. Program ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan desa dan menyejahterakan masyarakat yang tertinggal.  Sekitar 60 ribu desa melaksanakan program tersebut.
Pemberdayaan masyarakat dan desa tentu jadi kunci pelaksanaan program PNPM Mandiri Perdesaan. Sekretaris Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri Nuryanto mengatakan pemberdayaan masyarakat desa merupakan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas masyarakat dan desa itu sendiri. “Kalau bicara desa pasti tak lepas dari masyarakatnya,” ujar Nuryanto. Menurut Nuryanto dalam melaksanakan tugasnya di bidang kemasyarakatan, Kementerian Dalam Negeri membentuk suatu Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Ditjen PMD memiliki tugas pokok menciptakan suatu kondisi pemerintahan di tingkat desa yang aman, baik dan kelembagaan. “Memperhatikan adat, sosial, budaya, usaha ekonomi masyarakat, SDM dan teknologi tepat guna,” sebut Nuryanto. Arah kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Desa utamanya untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintah desa yang partisipatif dan demokratis. Bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan SDM dan teknologi yang ramah lingkungan. Dalam rangka mewujudkan kegiatan usaha ekonomi yang produktif maju dan mandiri serta berorientasi pada pasar. “Keswadayaan masyarakat intinya ada di PMD,” kata Nuryanto.
Pelaksanaan Program
Pemberdayaan Masyarakat Desa lewat program PNPM Mandiri Perdesaan kebanyakan adalah pembangunan infastruktur. Hal tersebut karena masih banyak desa di Indonesia yang tergolong miskin. “Pembangunan infrastruktur mencapai 60%, baru sisanya kegiatan ekonomi,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri Nuryanto. Untuk kegiatan ekonominya dikenal dengan istilan simpan pinjam. Kegiatan tersebut mampu memberikan akses modal bagi masyarakat. “Masyarakat dikasih dana bergulir, dana harus berubah jadi usaha produktif,” tutur Nuryanto.
Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri sudah mencakup 32 provinsi di 5020 kecamatan dan 393 kab/kota. Jumlah tersebut tentu tak sedikit. Oleh karena itu Ditjen PMD harus punya strategi untuk membangun dan memberdayaan masyarakat sekaligus desanya. “Provinsi kepanjangan tangan pemerintah pusat, kalau di kabupaten ada petugas yang ditunjuk, bisa dari aparat desa, termasuk tenaga pendamping yang bernama fasilitator,” cerita Nuryanto. Dengan begitu program PNPM Mandiri Perdesaan bisa berjalan lancar. Kewenangan fasilitator adalah mendampingi masyarakat, supaya mereka bisa dan mampu mengetahui kebutuhannya sekaligus membuat perencanaan yang diwujudkan dalam satu kegiatan yang betul-betul diinginkan dan dibutuhkan masyarakat. “Mereka berada ditengah-tengah masyarakat, fasilitator bisa dari dalam dan luar” tukas Nuryanto. Dengan begitu program PNPM Mandiri Perdesaan bisa berjalan lancar. Pada 2010, PNPM Mandiri Perdesaan ikut berperan dalam menurunkan angka kemiskinan. “Turun 1%,” sebut Nuryanto.
Melongok Program PNPM Mandiri di Long Apari Kalimantan Timur
Kecamatan Long Apari, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur merupakan wilayah yang sulit dijangkau. Menuju ke sana hanya bisa dilalui dengan menggunakan kendaraan air seperti; speedboat dan perahu panjang atau kecil. Sedangkan masyarakatnya sebagian besar berladang atau bertani untuk memenuhi kebutuhan sehar-harinya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa lokal setempat. Kental pula dengan adat istiadat serta aturan desa. Karena itu pula ada beberapa program PNPM Mandiri perdesaan yang sempat tertunda. “Harus juga disesuaikan dengan adat istiadat setempat, makanya jadi lama hasilnya,”cerita Norhayati, Fasilitator Kecamatan Long Apari Kabupaten Kutai Barat Kaltim. Misalnya saja soal program simpan pinjam bagi perempuan, kebanyakan justru tak berhasil. “Dikasih dana bergulir buat usaha, gak bisa mengembalikannya, rata-rata mereka itu maunya berladang atau bertani, kerena itu keseharian mereka,” terang Norhayati. Namun menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri Nuryanto hampir sebagian besar yang mendapatkan manfaat dari program PNPM Mandiri Perdesaan adalah kaum perempuan. Mereka berhasil melaksanakan program simpan pinjam. “Mereka berani tampil, 50%nya itu perempuan ambil bagian di kegiatan.”
Pemantauan Bersama
PNPM Mandiri Perdesaan menggunakan prinsip dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam menyusun kegiatannya aspirasi masyarakatlah yang diusulkan. Dari aspirasi tersebut kemudian disepakati juga oleh masyarakat. “Masyarakat yang memilih menunya,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri Nuryanto. Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa  yang membantu mengidentifikasi, menyusun ide serta strategi yang berkembang di masyarakat. Namun semuanya ditentukan dan diputuskan kembali berdasarkan kebutuhan masyarakat. Itu artinya pemantauan pun dilakukan bersama masyarakat sebagai pelaku pembangunan dan pemberdayaan. “Seluruh masyakarat turut memantau supaya bila ada ketidakadilan atau ada yang melenceng bisa dilaporkan,” tutup Nuryanto.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan PNPM Mandiri. 

http://kbr68h.com
Read More …

Dalam kehidupan politik saat ini terdapat 3 masalah hukum yang membuat perpolitikan Indonesia tidak stabil dan tumbuh tidak sehat. Masalah hukum itu dapat dijadikan bargaining politik bagi siapapun pelaku politik negeri ini. Masalah itu dapat digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok dalam menekan pemerintah atau pihak lain. Budaya yang tidak sehat inilah yang membuat pertentangan politik di Indonesia semakin tidak berkualitas. Hal inilah yang membuat kontrapoduktif dalam bangsa ini. Karena, setiap hari media masa dan pembicaraan masyarakat bukan didominasi semangat membangun bangsa tetapi justru saling menyalahkan dan memecah belah bangsa.
Hal ini diperkeruh oleh paparan media yang juga dipengaruhi oleh kekuatan politik besar negeri ini. Seringkali idealisme jurnalistik media masa atau media televisi digadaikan karena kepentingan pemodalnya dan partai politik tertentu. Sehingga hal ini membuat edukasi politik bangsa ini semakin menjemukan, penuh provokatif, saling menyalahkan dan sangat tidak berkualitas. Bagi masyarkat dengan intelektual tinggi dan berpendidikan mungkin beberapa opini menyesatkan media itu tidak masalah. Namun, bagi masyarakat yang berpendidikan rendah seperti sebagian besar masyarakat bangsa ini, akan menggirik pada opini dan pendidikan yang sangat tidak mendidik bangsa ini. Namun, pikiran positif yang terjadi adalah masyarakat akan semakin pintar untuk menerima informasi dengan tidak mudah tergiring dengan opini yang tidak berkualitas.
Kasus hukum tersebut sangat berpotensi
dijadikan barter politik yang kuat karena melibatkan 3 partai politik terbesar negeri ini seperi partai Demokrat, Golkar dan PDIP.
Tiga masalah hukum besar yang seringkali dijadikan senjata utama untuk barter huku dan barter politik adalah :
1. Kasus Bank Century yang melibatkan pemerintahan dan partai Demokrat
2. Kasus Gayus dan Mafia Hukum yang banyak tudingan melibatkan partai besar tertentu
3. Kasus suap pemilihan deputi Gubernur Miranda Gultom yang melibatkan PDIP

Bila masalah hukum itu melibatkan partai politik dan pemerintah maka akan akan dengan mudah masuk ke ranah politik. Hal inilah yang mebuat kasus tersebut tidak terselesaikan tetapi justru memperkeruh berbagai masalah di negeri ini.
Budaya politik yang tidak sehat inilah nantinya harus diperbaiki secara revolusioner. Budaya buruk politik ini selain tidak berkualitas juga dapat membuat bangsa ini hanya didominasi pertentangan tidak cerdas pada topik tidak berkualitas yang menutupi pikiran membangun bangsa. Padahal bangsa lain di sekitar kita di dominasi oleh topik kemajuan teknologi dan industri, tetapi Indonesia berdebat hal yang tidak berkualitas. Sayangnya budaya politik tampaknya dalam 5-10 tahun lagi sulit berubah bila sistem politik dan perilaku kesadaran pemain politik di Indonesia tidak berubah.

http://demokrasiindonesia.wordpress.com
Read More …

Peran pendidikan Kesetaraan yang meliputi program Paket A, B, dan C sangat strategis dalam rangka pemberian bekal pengetahuan dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Penyelenggaraan program ini terutama ditujukan bagi masyarakat putus sekolah karena keterbatasan ekonomi, masyarakat yang bertempat tinggal di daerah-daerah khusus, seperti daerah perbatasan, daerah bencana, dan daerah yang terisolir yang belum memiliki fasilitas pendidikan yang memadai bahkan juga bagi TKI di luar negeri dan calon TKI.
Memahami nilai dan manfaat program pendidikan kesetaraan bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi pada program yang diselenggarakan dengan antusias.
Untuk skala nasional, penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan dimaksudkan sebagai upaya untuk mendukung dan mensukseskan program pendidikan wajib belajar 9 tahun yang merupakan penjabaran dari rencana strategis Departemen Pendidikan nasional yang meliputi perluasan akses, pemerataan, dan peningkatan mutu pendidikan.
Untuk mengetahui peranan pendidikan kesetaraan Paket B dalam rangka program wajib belajar, perlu diadakan penelitian dengan judul “Peranan Pendidikan Kesetaraan Paket B dalam menuntaskan Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun di Kota Medan”.
A.Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, yang  dimulai pada bulan Juni – Desember 2007. Tempat penelitian dilakukan di kota Medan pada Lokasi yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan data dan kesesuaian dengan tujuan penelitian. Lokasi Penelitian Peranan Pendidikan Kesetaraan Paket B untuk menuntaskan Wajar 9 tahun di Kota Medan, antara lain Dinas pendidikan Sumatera Utara, Dinas Pendidikan kota medan, Kantor Cabang Dinas kecamatan.
Teknik pemilihan sampel dari Populasi dilakukan dengan teknik sampling kuota. Sampling Kuota ialah teknik penentuan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (jatah) yang dikehendaki atau pengambilan sampel yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu dari peneliti. Adapun populasi dari penelitian ini adalah lembaga-lembaga seperti Dinas Pendidikan Sumatera Utara, Dinas Pendidikan Kota Medan, dan Sanggar Kegiatan Belajar Kota (SKB)  Medan.
Dan sampel penelitian antara lain Kasubdis Pendidikan luar sekolah Sumatera Utara dan Staff, Kasubdis Pendidikan luar sekolah Kota Medan dan Staf. Untuk memperkuat data dan kualitas penelitian, maka sumber data juga berasal dari unsur Pelaksana pendidikan luar sekolah seperti Penilik, penyelenggara Kejar Paket B, Tutor, dan Peserta didik, dengan total 30 Orang.
Untuk mendukung terpenuhinya kualitas dan kuantitas data yang memadai, maka penelitian ini menggunakan Teknik Dokumentasi (Mencari data berupa catatan, Transkrip, buku, surat kabar, Majalah, Prasasti, Notulen, dll). Sedangkan Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif exploratif. Penelitian Deskriptif adalah penelitian untuk mengungkapkan dan menggambarkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa yang bersifat untuk mengungkapkan fakta (fact finding). Sedangkan penelitian exploratif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk menemukan masalah-masalah baru yang ditemukan dan selanjutnya dibahas dan diselidiki secara cermat melalui kegiatan penelitian lanjutan. ( Nawawi, 1995)
Teknik analisa yang digunakan adalah analisis deskriptif persentase. Data-data yang telah diperoleh kemudian dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh persentase. Pencarian persentase dimaksudkan untuk mengetahui status sesuatu yang dipersentasekan dan disajikan tetap berupa persentase. Teknik penggunaan data kualitatif dan kuantitatif sekaligus ini dikenal dengan teknik deskriptif kualitatif dengan persentase.
B. Kesimpulan
1. Peranan program pendidikan kesetaraan paket B dalam mendukung penuntasan wajib belajar Pendidikan dasar 9 tahun, semakin mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat, hal itu terlihat dari ditetapkan UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003. Jumlah dan tingkat partisipasi masyarakat umum untuk menyelenggarakan serta mengikuti jalur pendidikan Kesetaraan mengalami peningkatan yang sangat signifikan, hal itu terlihat dari bertambahnya jumlah peserta didik pada  kelompok belajar dan jumlah peserta Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK). Pembentukan berbagai satuan pendidikan nonformal, seperti PKBM, memberi indikasi semakin besarnya perhatian masyarakat kepada PNF.
2. Peranan Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket B dalam Upaya Mendukung Wajar Dikdas 9 tahun di Kota Medan, tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan jumlah lulusan 2204 orang yang berarti 5,97 % dari  peserta pendidikan formal sebanyak 36.884 orang, disusul tahun 2003 lulusan UNPK Paket B sebanyak 227 orang.
3. Rata-rata persentase peranan dan kontribusi Lulusan Paket B di Kota Medan (1997-2007), baru sekitar 1.06 % atau masih dibawah rata-rata persentase nasional yakni 3 %.
Pada studi Dokumentasi terhadap penyelenggaraan pendidikan kesetaraan dan pelaksanaan UNPK paket B Selama kurun waktu 10 tahun (1997-2007), jumlah lulusan UNPK Paket B adalah sebanyak  4191 Orang, jika dibandingkan terhadap jumlah peserta pelajar kelas 3 SLTP (formal) yang berjumlah 394.627. maka kontribusi peranan pendidikan kesetaraan Paket B dalam mendukung penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun adalah sebesar 1,06 %.
C. Saran
Diperlukan Sosialisasi yang yang baik dari segenap pemangku kepentingan beserta insan PLS  kepada seluruh lapisan masyarakat, agar pendidikan kesetaraan dan pelaksanaan UNPK paket B semakin baik.
Pemerintah Kota Medan, melalui Subdis PLS perlu lebih memberi perhatian terhadap kualitas dan kuantitas pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan kesetaraan di kota Medan, baik dalam bentuk perhatian bantuan dana BOP, maupun pendampingan Program-program PLS di lapangan. Kualitas pelaksanaan ujian nasional paket B juga perlu diperhatikan, agar mutu lulusannya semakin lebih baik sehingga benar-benar setara dengan jalur pendidikan formal, dengan demikian di masa depan diharapkan kualitas manusia Indonesia semakin lebih baik demi tercapainya tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
* Pamong Belajar BP-PNFI Regional I Medan

http://www.bpplsp-reg-1.go.id
Read More …







Oleh: Triyo Rachmadi, S.Kep. *)
Sejatinya, semua anak adalah kreatif. Untuk itu, mereka selalu ingin tahu segala sesuatu yang bersifat baru mulai dari apa yang mereka lihat, dengar hingga apa yang mereka rasakan. Hanya saja, kreatifitas setiap anak berbeda. Pembedanya adalah adanya pembatasan dari lingkungan dan rasa antusiasme si kecil yang bervariasi. Di sinilah, orang tua berkewajiban untuk mengetahui, mengenal dan menggali bakat dan minat si kecil sejak dini. Hal ini bukan pekerjaan yang sulit mengingat kemampuan-kemampuan yang menonjol dari si kecil akan terlihat dengan sendirinya secara jelas.
Menjadi kewajiban orang tua untuk memfasilitasi dan mengembangkan kreatifitas si kecil. Sebagaimana diketahui cirri anak kreatif adalah spontan, rasa ingin tahu, lancar berpikir, detail oriented dan orisinalitas ide. Berikut adalah hal-hal yang perlu dipahami orangtua dalam memfasilitasi sekaligus mendorong kemampuan yang dimiliki si kecil sehingga kreatifitas si kecil terus berkembang:
TIDAK MENUNTUT KEINGINAN
Sosok orang tua yang baik bukanlah yang menuntut segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. Contoh: menginginkan si kecil menjadi ahli musik sedangkan bakat si kecil lebih suka menggambar yang menjurus kepada seni rupa. Bila orang tua memaksakan keinginannya, hal ini tidak akan berhasil mengingat adanya ketidakcocokan minat.
Sebagai orang tua, harus dapat menerima kelebihan dan kekurangan si kecil. Lebih dari itu, orang tua harus memotivasi sekaligus mensugesti bahwa si kecil mampu melakukan kegiatan yang terkait minatnya.
ANAK ADALAH UNIK
Seringkali orang tua membandingkan si kecil dengan anak lain, seolah-olah selalu saja ada kekurangan si kecil. Padahal, setiap anak adalah unik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari sisi anakpun, sebagai individu sama halnya dengan orang dewasa, tidak suka dibandingkan dengan orang lain. Alhasil, sikap bijak orang tua diperlukan untuk memahami keunikan setiap anak.
KREATIFITAS MULTIDIMENSI
Wujud kreatifitas si kecil bisa saja berbeda-beda. Contoh, setiap pulang dari sekolah, ia mendapatkan hal baru yang ia sukai, maka akan langsung dipamerkan kepada orang tuanya di rumah. Sebaliknya, jika kreatifitas tersebut tidak ia sukai dan tidak ada perhatiannya, dengan dipaksapunakan sulit dikembangkan. Contoh, si kecil mendapatkan cara-cara cepat dalam menyelesaikan pelajaran Matematika. Praktis, ia akan memamerkan hal tersebut kepada orang tuanya. Sebaliknya, ia tidak akan melakukan hal serupa ketika mendapatkan pelajaran seni tari yang tidak ia sukai. Singkatnya, kreatifitas itu multidimensional dan setiap anak dimensi kreatifnya sendiri-sendiri.
MEMBERI CONTOH
Kita harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap apa yang tengah dikerjakan oleh anak-anak kita. Misalnya, dengan ikut melakukan aktifitas bersama anak dan memperkenalkan hal bari serta gagasan-gagasan yang berhubungan dengan aktifitas tersebut. Kesempatan tersebut dapat digunakan untuk memberitahu cara yang baik untuk melakukan aktifitas tersebut, resiko serta keuntungannya. Selanjutnya, biarkan si kecil berpikir tentang hobi barunya itu. Yang perlu orang tua lakukan adalah memberika waktu, tempat, kemudahan dan bahan-bahan agar si kecil semakin kreatif.
LAKUKAN DENGAN SANTAI
Acapkali orang tua lebih menyukai melihat langsung hasil jadi dari kreatifitas anak dan melupakan proses belajar mencapai tujuannya. Padahal, dalam proses justru akan terlihat jelas bagaimana mereka memecahkan masalah, berusaha dan menikmati keberhasilan. Untuk itu, sebaiknya orang tua juga memberikan perhatian kepada proses dengan perspektif si kecil, bukan atas dasar cara pandang seorang dewasa. Sering mengajak anak ke tempat yang menimbulkan kreatifitas adalah kegiatan positif. Seperti berkunjung ke Museum Sain dan museum lainnya. Kegiatan bereksperimen juga bisa dilakukan di rumah, seperti membuat baling-baling bamboo, ketapel, tempat pensil dari bahan-bahan bekas pakai.
*) Dosen Politeknik Dharma Patria Kebumen,
Praktisi Keperawatan

http://triyo-rachmadi-skep.blogspot.com
Read More …

Penanggulangan Buta Aksara Harus Merata
Dinilai belum menyentuh masyarakat perkotaan yang penduduknya padat, Lembaga Swadaya Manusia (LSM) Amanat Muda Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), meminta program penanggulangan buta aksara di Sulbar dilakukan secara merata.
“Jangan dikira seluruh masyarakat kota sudah melek aksara. Mereka yang hidup di pemukiman kumuh kota dan masih hidup di bawah garis kemiskinan butuh perhatian pemerintah,” kata Ketua LSM Amanat Muda, Darmawi di Mamuju, Senin (9/4).
Menurut dia, program penanggulangan buta aksara di Sulbar belum menyentuh seluruh kawasan buta aksara. Misalnya di kelurahan terpadat di Mamuju, yaitu Kelurahan Kasiwa, Kecamatan Mamuju yang berpenduduk sekitar 6.000 orang.
“Di salah satu RT di Kelurahan Kasiwa, terdapat delapan keluarga yang buta aksara karena tidak pernah tersentuh program keaksaraan fungsional yang telah menelan anggaran miliaran rupiah di Sulbar,” ujarnya.
Hal itu, papar Darmawi, merupakan salah satu indikator terkecil bahwa pelaksanaan penanggulangan buta aksara perlu dievaluasi. Jangan sampai  program itu hanya menghabiskan dana dari APBD namun tidak mencapai hasil yang optimal. (Mulia/Antara/HK)
Foto Ilustrasi: PKBM Budi Bakti Distrik Sentani, Kab. Jayapura, Papua
 
http://www.paudni.kemdikbud.go.id 
Read More …

Suatu hari Udin mau mengetes seorang dukun yg terkenal pinter di desanya
Udin (U): Kalo anda emang pinter, coba tebak, burung di tangan gue masih idup apa sudah mati???
Dukun (D): halllahhh.... kamu masih bocah sudah mau ngejebak saya, saya tahu kalau saya bilang hidup, kamu akan meremas burung itu sampai mati, kalau saya bilang mati, kamu akan melepaskan burung itu agar terbang
U: Hahahaha.... ternyata desas-desus kalau anda orang paling pintar di desa ini salah besar
D: lha!!!! knapa??? bukankah jawaban saya masuk akal???
U: jawaban anda masuk akal, tetapi anda tetap salah karena ditangan saya bukan burung, tapi hamster


http://carakata.blogspot.com
Read More …

Menyambut Hari Anak Nasional dan Gebyar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Disdikpora Kota Denpasar, Jumat (22/7) menyelenggarakan lomba kreativitas anak didik dan pendidik PAUD di Lapangan Puputan Badung. Acara berlangsung semarak dibuka Kabid Pendidikan Luar Sekolah Disdikpora Kota Denpasar, Drs. I Nyoman Gde Arnawa, M.Pd.
 Lomba kreativitas PAUD yang diisi aneka lomba kreativitas peserta didik dan pendidik PAUD, menurut Arnawa, bertujuan memberi ruang kreativitas bagi anak-anak dan pendidik PAUD. Acara ini diselenggarakan secara bersama antara Disdikpora, IGTKI dan Impaudi Kota Denpasar dengan melibatkan seluruh lembaga PAUD di Kota Denpasar.

Untuk peserta didik PAUD digelar delapan jenis lomba. Di antaranya, lomba meronce katagori A (2-3 tahun), katagori B (4-5 tahun) dan katagori C (5-6 tahun). Selain itu, lomba fashion show (5-6 tahun), lomba membentuk adonan tepung (5-6 tahun), lomba puzzle (5-6 tahun), lomba gerak dan lagu (5-6 tahun), lomba estafet keluarga (4-6 tahun), serta lomba memasukkan bola ke keranjang dan lomba menggambar anak dan orangtua. Sedangkan untuk pendidik PAUD digelar dua jenis lomba, yakni lomba APE (alat permainan edukatif) dan lomba mendongeng. Peraih juara di masing-masing jenis lomba ini akan sebagai duta Denpasar ke lomba Gebyar PAUD tingkat Propinsi Bali.

Drs. I Nyoman Gde Arnawa, M.Pd. mengungkapkan, usai 0-6 tahun merupakan usia yang sangat peka (sensitif) dalam mencari stimulus atau rangsangan terhadap perkembangan anak di masa akan datang. Makanya, ia mengharapkan, orangtua atau pendidik betul-betul memahami kondisi anak baik secara psikologis, emosional dan sosial si anak. Selain itu, mampu mengembangkan tingkat pertumbuhan anak secara maksimal.

http://www.cyberschooldps.net
Read More …



Jum’at tanggal 27 April 2012 telah dilaksanakan lomba dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional ( HAN ) program Paud Non Formal tahun 2012 oleh HIMPAUDI Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. Yang di ikuti oleh perwakilan anak didik dari 28 PAUD se Kecamatan Tirto.
Dalam sambutannya Camat Tirto Budi Rahrdjo, AP mengatakan kegiatan lomba Ajang Kreatifitas Pendidik PAUD diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional ( HAN ) Tahun 2012 dengan tujuan meningkatkan kreatifitas Pendidik PAUD dan menunjukkan kreatifitas dan imajinasi dalam kegiatan lomba, sebagai momentum yang bermanfaat dalam mendidik mentalitas kreatifitas, Obyektifitas, sportifitas dan rasa kebersamaan para Pendidik PAUD sebagai generasi penerus harapan Bangsa di masa mendatang, Kita harus mampu menjadikan generasi Bangsa ini khususnya generasi Daerah Santri menjadi subyek bermutu yang mengaktualisasikan potensi kemanusian secara utuh dan optimal, kita sungguh mendambakan generasi masa depan berkualitas yang terbukti dari kekokohan imannya.
Diakhir sambutannya Camat Tirto meminta kepada para peserta lomba kreatifitas Pendidik Paud untuk memanfaatkan kegiatan ini dengan sebaik – baiknya guna mempertajam apresiasi,khususnya terhadap karya seni seperti yang kita harapkan.
 
http://tppkkkec-tirto.blogspot.com
Read More …

Peningkatan kualitas hidup, peran perempuan, kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan bagian penting dalam upaya peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas. Perempuan sebagai sumberdaya manusia masih membutuhkan  upaya-upaya pemberdayaan. Lantas, ada apa dan kenapa dengan perempuan?
Secara empiris peran dan kedudukan perempuan masih tertinggal dalam semua bidang seperti bidang: ekonomi, pendidikan, politik dan lainnya.Kondisi ini tampak jelas dalam Indeks Pembangunan Gender (Gender Development Index) (2004); Indonesia pada urutan 90, tertinggal di bawah Vietnam,
Philipina,  China, Korea maupun negara Asean lainnya.  Secara khusus dalam aspek pendidikan, semakin tinggi jenjang pendidikan, jumlah perempuan lebih sedikit dari pada laki-laki. Demikian juga, angka buta huruf perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Fakta ini semakin jelas menunjukan bahwa masalah pemberdayaan perempuan  masih harus mendapat perhatian. Permasalahan rendahnya pendidikan perempuan akan mempengaruhi kualitas hidup yang berdampak  bukan hanya bagi perempuan itu sendiri namun dapat menyebabkan kemunduran sebuah keluarga. Perempuan memiliki peran kodrati yang tidak dapat digantikan oleh laki-laki dalam fungsi reproduksinya. Oleh sebab itu pembangunan selayaknya memberikan akses yang adil dan memadai bagi perempuan dan anak untuk lebih berperanserta, memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, serta turut mempunyai andil dalam proses pengendalian/kontrol pembangunan. Disamping itu, pembangunan juga harus memegang prinsip pemenuhan hak asasi manusia, yang salah satunya tercermin dalam pencapaian kesetaraan dan keadilan gender serta hak-hak anak yang tidak terabaikan.
Sehubungan dengan kegiatan pemberdayaan khususnya bidang pendidikan bagi perempuan,  menurut data  dasar penduduk buta aksara (BPS) dari tahun 2006 sampai dengan 2008, Kabupaten Bantul memiliki tingkat penurunan buta aksara yang paling tinggi, yaitu dari 2,72% pada tahun 2006 menjadi 0,55% pada tahun 2008 dengan tingkat penurunan sebesar 79,59%. Namun demikian apabila ditinjau dari penurunan jumlah penduduk buta aksara,  Kabupaten Gunungkidul memiliki jumlah yang tertinggi yaitu 29.307 orang dengan tingkat penurunan dengan capaian sasaran sebesar 62,08% atau menjadi tinggal sebanyak 17.899 orang pada akhir tahun 2008 ini.
Dalam rangka penuntasan  buta aksara di Indonesia dilakukan berbagai upaya, salah satunya adalah penyelenggaraan keaksaraan fungsional berbasis life skills. Melalui program ini diharapkan dapat memberikan pembelajaran langsung baca-tulis-hitung (calistung) fungsional terpadu dengan keterampilan kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam pembelajaran dengan metode ini, warga belajar tidak hanya belajar mengenal huruf, tetapi juga mendapatkan kecakapan hidup dari tutor keaksaraannya.  Beberapa pengetahuan keterampilan dasar dan tambahan pengetahuan tentang usaha baik berupa manajemen, proses produksi dan pemasaran diberikan kepada warga belajar disesuaikan dengan potensi masing-masing kelompok. Strategi ini berguna untuk menghindari kejenuhan belajar.
Life Skills berdasarkan konsep yang digunakan WHO (1997), merupakan kemampuan berperilaku adaptif dan positif yang menjadikan seseorang mampu menguasai secara efektif kebutuhan dan tantangan hidup sehari-hari. Konsep life skills diadopsi dalam bahasa Indonesia sebagai ‘kecakapan hidup’.  Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani meghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa  tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, apalagi sekedar ketrampilan manual. Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun pun tetap memerlukan kecakapan hidup karena akan tetap menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan juga memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki permasalahan yang harus dipecahkan. Kecakapan hidup dapat dibedakan menjadi lima, yaitu:
  1. Kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga sering disebut kemampuan personal (personal skill);
  2. Kecakapan berpikir rasional (thinking skill);
  3. Kecakapan sosial (social skill);
  4. Kecakapan  akademik (academic skill), dan
  5. Kecakapan  vokasional (vocational skill).
Daya Annisa  merupakan salah satu lembaga yang memiliki fokus kegiatan pada pemberdayaan masyarakat khususnya pelaku usaha mikro-kecil yang meliputi penguatan ekonomi, sumber daya manusia, dan kapasitas usaha. Kegiatan Lembaga Daya Annisa dalam pemberdayaan masyarakat diantaranya adalah pendampingan melalui pendidikan dan latihan untuk pengembangan usaha, keuangan mikro pola kelompok, pengembangan jaringan usaha, kerjasama dengan Sub Direktorat Pendidikan Perempuan Direktorat Pendidikan Masyarakat Dirjen PNFI Departemen Pendidikan Nasional: pendidikan keluarga berwawasan gender (PKBG), program pemberdayaan perempuan melalui pengembangan potensi lokal dan penerbitan koran Ibu.  Kegiatan–kegiatan yang telah dilakukan tersebut merupakan pengalaman berharga bagi organisasi untuk lebih optimal melakukan upaya-upaya pemberdayaan.
Penuntasan buta aksara di Indonesia pada umumnya dan di daerah-daerah kantong buta aksara khususnya di pedesaaan diperlukan strategi pengintegrasian dengan memadukan life skills dan penguatan peran kelompok usaha. Meningkatkan mutu pembelajaran warga belajar perlu dilandasi prinsip belajar untuk memahami sesuatu (learning to know), belajar untuk dapat mengerjakan sesuatu (learning to do), belajar menjadi diri sendiri/mandiri (learning to be), dan belajar untuk dapat hidup bersama masyarakat (learning to live together).
Read More …

Keaksaraan Fungsional adalah sebuah usaha pendidikan luar sekolah dalam membelajarkan warga masyarakat penyandang buta aksara agar memiliki mampu menulis, membaca dan berhitung untuk tujuan yang pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di lingkungan sekitarnya, untuk peningkatan mutu dan taraf hidupnya.
Prioritas usia penyandang buta aksara berusia 15-50 tahun pada pemberantasan buta aksara melalui program keaksaraan fungsional. Buta aksara adalah orang yang tidak memiliki kemampuan-kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil studi, warga belajar program KF, terdiri dari dua karakteristik yaitu yang berasal dari buta aksara murni dan Droup Out Sekolah Dasar yang masih memerlukan layanan pendidikan keaksaraan sampai memenuhi kompetensi keaksaraan yang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, keaksaraan fungsional berpusat pada masalah, mengarahkan pengalaman belajar pada masalah yang dihadapi oleh warga belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Pemberantasan buta aksara memiliki tahapan, yaitu, tahap keaksaraan dasar dan tahap keaksaraan mandiri. Tahap keaksaraan dasar adalah warga belajar yang belum memiliki pengetahuan dasar tentang calistung (baca tulis hitung) tetapi telah memiliki pengalaman yang dapat dijadikan kegiatan pembelajaran. Terakhir, tahap keaksaraan mandiri adalah warga belajar telah memiliki pengetahuan dan pengalaman. Pada hasil belajarnya, warga belajar diharapkan dapat menganalisa dan memecahkan masalah dalam rangka untuk meningkatkan mutu taraf hidupnya.
b. Fungsi dan Tujuan
Keaksaraan Fungsional memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang bersifat fungsional dalam meningkatkan mutu dan taraf kehidupan dan masyarakatnya. “Tujuan utama program keaksaraan fungsional adalah membelajarkan warga belajar agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, dan hitung (calistung) dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari.”[1]
c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
Hakikat pembelajaran keaksaraan fungsional berpusat pada masalah, minat dan kebutuhan warga belajar itu sendiri. Substansi materi belajarnya didasarkan pada kegiatan untuk membantu mereka dalam mengimplementasikan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Program keaksaraan fungsional dapat terlaksana dengan baik apabila sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, maka pembelajaran keaksaraan fungsional hendaknya mengacu pada prinsip berikut:
  1. Konteks lokal
  2. Disain lokal
  3. Proses partisipatif
  4. Fungsionalisasi hasil belajar[2]
Prinsip-prinsip tersebut diatas sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran keaksaraan fungsional. Tutor bersama warga belajar hendaknya dapat memperhatikan bagaimana implementasi dari prinsip tersebut.

 d. Strategi Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
Hakikatnya warga belajar keaksaraan fungsional merupakan tergolong dalam orang dewasa. ”Strategi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya mengikuti kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa (Andragogi).”[3] Kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa yang dimaksud adalah:
  1. Pembelajaran harus berorientasi pada masalah (problem oriented).
  2. Pembelajaran harus berorientasi pada pengalaman pribadi warga belajar (experiences oriented).
  3. Pembelajaran harus memberi pengalaman yang bermakna (meaningfull) bagi warga belajar.
  4. Pembelajaran harus memberi kebebasan bagi warga belajar sesuai dengan minat, kebutuhan dan pengalamannya.
  5. Tujuan pembelajaran harus ditetapkan dan disetujui oleh warga belajar melalui kontrak belajar (learning contract).
  6. Warga belajar harus memperoleh umpan balik (feedback) tentang pencapaian hasil belajarnya.[4]
Pembelajaran pada orang dewasa juga harus berorientasi pada pengalaman warga belajar itu sendiri. Hasil dari pengalaman itu yang menentukan ide, pendirian dan nilai dari orang yang bersangkutan. Pikiran, ide, pengalaman dan informasi yang terdapat diri warga belajar harus dikembangkan sehingga akan membantu perkembangan atau kemajuan belajarnya. Pengalaman merupakan sumber yang kaya untuk dipelajari. Oleh karena itu, orientasi belajar orang dewasa berkaitan dengan erat dengan keinginan dan ketetapannya untuk mengarahkan diri sendiri menuju kedewasaan, dan kemandirian agar pembelajarannya bermakna.
Hakikat tujuan belajar merupakan pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tetapi dalam proses belajar orang dewasa harus sesuai dengan kontrak belajar yang telah disepakati. Kondisi tersebut dapat menciptakan suasana belajar lebih kondusif.
  1. e.    Pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional Dasar
Program keaksaraan fungsional dasar dilaksanakan dibeberapa wilayah Indonesia. Salah satunya diselenggarakan di Jakarta. Program keaksaraan dilaksanakan dengan berbagai metode dan pendekatan oleh lembaga dengan tujuan memberikan ketertarikan warga belajar yang memang usia mereka antara 15 – 55 tahun. Metode dan pendekatan yang dilakukan pun berbeda-beda sesuai dengan desain konteks lokal dari keberadaan penyelenggaraan program. Program keaksaraan pun diikuti dengan kegiatan fungsional seperti, membuat sabun colek ataupun kegiatan peningkatan keterampilan hidup warga belajar. Perbedaan metode dan pendekatan yang dilakukan oleh lembaga berpedoman kepada Standar Kompetensi Keaksaraan Dasar (SKKD) yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).
SKKD mengenai keaksaraan pun telah direvisi oleh Kemendiknas khususnya Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal pada tahun 2009. SKKD itu sendiri merupakan standar minimal yang harus dikuasai oleh warga belajar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar. SKKD ini melingkupi beberapa aspek, yaitu, 1). Mendengar; 2). Berbicara; 3). Membaca; 4). Menulis; dan 5). Berhitung. Keseluruhan aspek SKKD yang telah direvisi berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan bermakna bagi warga belajar.
Hasil revisi SKKD yang telah diterbitkan memuat Standar Kempetensi Lulusan Pendidikan Keaksaraan Dasar (SKL – PKD). SKL – PKD ini dimaksudkan sebagai kualifikasi kemampuan warga belajar setelah mengikuti program keaksaraan dasar yang mencangkup pengetahuan, sikap dan keterampilan. SKL – PKD dijabarkan dalam standar kompetensi dan selanjutnya dijabarkan dalam kompetensi dasar. SKL – PKD terdiri dari lima standar kompetensi sesuai dengan SKKD, yaitu standar kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung.
  1. Standar kompetensi mendengarkan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu memahami wacana lisan berbentuk pesan, perintah, petunjuk yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
  2. Standar kompetensi berbicara ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan, bertanya, bercerita, mendeskripsikan benda, memberikan tanggapan/saran yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Standar kompetensi membaca ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana berupa teks panjang, pesan, petunjuk, lambang dan nama bilangan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Standar kompetensi menulis ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Standar kompetensi berhitung ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu melakukan penghitungan matematis secara lisan dan tulis yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi keaksaraan ditempatkan dalam alur penyusunan rencana pembelajaran keaksaraan dasar. Standar kompetensi keaksaraan disusun mengikuti alur rencana pembelajaran secara sistematis mulai dari tingkat pusat sampai kepada tutor sebagai pengajar. Pusat atau dalam hal ini Kemendiknas memberikan acuan ke daerah/ pengelola berupa standar kompetensi lulusan dengan bentuk kompetensi dasar yang berisi kompetensi dasar sebagai indikator yang dapat dinilai. Daerah/ pengelola menterjemahkan acuan pusat menjadi silabus untuk dikembangkan tutor. Tutor mengembangkan silabus yang diberikan oleh pengelola menjadi rencana pelaksanaan pembelajaran yang bermuatan, yaitu, 1). Tujuan pembelajaran; 2). Materi pembelajaran; 3). Metode pembelajaran; 4). Sumber belajar; dan 5). Penilaian hasil belajar. Berikut ini bagan mengenai alur yang diberikan oleh pusat sampai dikembangkan oleh tutor :
Kedudukan Standar Kompetensi Keaksaraan dalam Alur
Penyusunan Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar
Standar kompetensi keaksaraan dalam alur rencana pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan oleh penyelenggara program pembelajaran keaksaraan fungsional. Kegiatan keaksaraan fungsional dilakukan melalui beberapa metode, pendekatan dan juga materi yang diberikan dan telah disesuaikan dengan warga belajar berdasarkan kondisi lingkungan eksternal maupun internal dari warga belajar. Kenyataannya banyak sekali program keaksaraan yang memberikan materi keterampilan dalam hal fungsional seperti pembuatan sabun colek atau membuat kue kering sebagai sajian hidangan pesta.
Yappika memberikan materi pembelajaran yang berbeda mengenai hak dasar dengan fokus pada 4 hal, yaitu, 1) Hak mendapatkan pendidikan; 2) Hak mendapatkan pelayanan kesehatan; 3) Hak memeluk agama; dan 4) Hak kebebasan berpendapat yang merupakan penyadaran hak pelayanan publik sebagai bentuk fungsional dari kegiatan keaksaraan. Yappika itu sendiri adalah sebuah organisasi non politik yang saat ini sedang mendampingi berjalannya undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang memberikan jaminan pemenuhan pelayanan publik yang layak, termasuk pendidikan. Yappika sebagai penyelenggara program memfokuskan pada peningkatan kapasitas masyarakat terutama perempuan dalam mempertanyakan praktek-praktek pelayanan publik yang disediakan pemerintah yang mereka terima untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik.
Pelaksanaan program ini menghasilkan outcome berupa meningkatnya pemahaman warga belajar mengenai prosedur mengakses pelayanan publik sebagai hak dasar mereka dan adanya dukungan dari pemerintah desa/kelurahan atau key person lokal lainnya untuk pengembangan sarana kegiatan belajar komunitas secara berkelanjutan. Output dari kegiatan keaksaraan adalah meningkatnya kemampuan baca-tulis-hitung perempuan buta aksara di komunitas miskin kota serta kemampuan memahami informasi tentang pelayanan publik di bidang kesehatan dan adminduk (administrasi penduduk), terbangunnya kerelawan warga, meningkat dan menguatnya keterampilan mahawarga belajar dalam pengembangan keaksaraan fungsional untuk masyarakat miskin kota, dan adanya strategi-strategi untuk pengembangan sarana belajar komunitas.
Keaksaraan fungsional penyadaran hak pelayanan publik juga menggunakan critical literacy sebagai pendekatan pembelajaran selain menerapkan pendidikan orang dewasa sebagai dasar pembelajaran. Critical literacy ini dimaksudkan sebagai strategi dalam hal membangun kognisi, afeksi dan psikomotorik warga belajar untuk memenuhi standar kompetensi mendengar dan berbicara sesuai dengan acuan SKKD. Bentuk dari critical literacy itu sendiri adalah membuat suasana belajar untuk dapat mengemukakan pendapat dan bertanya di dalam diskusi dalam kelompok belajar. critical literacy adalah sebuah ilmu mengenai rektorika untuk memulai percakapan dengan hubungannya dengan kekuatan bertanya. Menurut Anderson dan Irvine, 1982, critical literacy adalah pembelajaran untuk membaca dan menulis sebagai proses kesadaran menjadi salah satu pengalaman sebagai nilai historis.
  1. 1.      Hakikat Pendidikan Orang Dewasa
a.  Pengertian Orang Dewasa
Robert D. Boyd berpendapat bahwa orang dewasa adalah pribadi yang matang dan independen, dan telah mengalami beberapa tahapan proses psikologis yang berbeda dari psikologis anak-anak.[5] Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pendekatan terhadap orang dewasa sangat berbeda dengan pendekatan terhadap anak-anak, terutama pada lingkup pendidikan. Orang dewasa akan merasa dihargai bila pembelajaran yang diikutinya mengacu pada pemecahan masalah, bertukar informasi, sesuai dengan pengalaman yang mereka alami dan tidak terkesan mentutori. Orang dewasa cenderung memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi.[6] Mereka berpendapat bahwa belajar merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosialnya. Makna pembelajaran bagi orang dewasa hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Soedomo berpendapat bahwa dalam merencanakan sekaligus menumbuhkan motivasi orang dewasa dalam proses pembelajaran, perlu diperhatikan beberapa ciri seperti berikut ini:
  1. Motivasi belajar berasal dari dirinya sendiri.
  2. Orang dewasa belajar jika bermanfaat bagi dirinya.
  3. Orang dewasa akan belajar jika pendapatnya dihormati.
  4. Orang dewasa belajar ingin mengetahui kelebihan dan kekurangannya.
  5. Orientasi belajar orang dewasa terpusat pada kehidupan nyata.
  6. Belajar bagi orang dewasa adalah hasil mengalami sesuatu.
  7. Belajar bagi orang dewasa bersifat unik.
  8. Orang dewasa umumnya mempunyai pendapat, kecerdasan, dan cara belajar yang berbeda.
  9. Belajar bagi orang dewasa terkadang merupakan proses yang menyakitkan.
10. Orang dewasa mengharapkan suasana belajar yang menyenangkan dan menantang.
11. Terjadi komunikasi timbal balik dan pertukaran pendapat.
12. Sumber belajar bagi orang dewasa berada pada diri mereka itu sendiri.
13. Pada belajar orang dewasa lebih mengutamakan peran orang dewasa sebagai warga belajar didik.
14. Belajar bagi orang dewasa merupakan hasil kerja sama antara manusia dan merupakan proses emosional dan intelektual sekaligus.[7]
Ciri-ciri di atas merupakan karakteristik dari orang dewasa selama proses pembelajaran. Karakteristik orang dewasa perlu diketahui dalam memulai suatu kegiatan pembelajaran bagi orang dewasa, sehingga mereka akan merasa dihargai dan situasi pembelajaran akan lebih berpusat pada warga belajar didik orang dewasa (student oriented).

[1] Standar Kompetensi Keberaksaraan, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional, 2006), p.6.
[2] Kusnadi, M.Pd, op.cit., p.192-197.
[3] Standar Kompetensi Keberaksaraan, op.cit., p.9.
[4] Tom Burkard, Understanding and Facilitating Adult Learning, (San Fransisco: Josey Bass Publlishers, 1999), p.31.
[6] Ibid., h. 3.
[7] Dr. Ir. H. Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 45.

http://prari007luck.wordpress.com
Read More …

Pendidikan secara umum adalah sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak dan budi mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada intinya pendidikan adalah suatu proses yang disadari untuk mengembangkan potensi individu sehingga memiliki kecerdasan pikir, emosional, berwatak dan berketerampilan untuk siap hidup ditengah-tengah masyarakat. Prinsip dasar dari pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia, mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berani dan mampu menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu, dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, sehingga terdorong untuk memelihara diri sendiri maupun hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan atau belajar adalah sebagai proses menjadi dirinya sendiri (process of becoming) bukan proses untuk dibentuk (process of beings haped) menurut kehendak orang lain, maka kegiatan belajar harus melibatkan individu atau client dalam proses pemikiran apa yang mereka inginkan, mencari apa yang dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan itu, menentukan tindakan apa yang harus dilakukan, dan merencanakan serta melakukan apa saja yang perlu dilakukan untuk mewujudkan keputusan itu. Dapat dikatakan disini tugas pendidik pada umumnya adalah menolong orang belajar bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka sendiri dan mempertimbangkan pandangan dan interest orang lain. Dengan singkat menolong orang lain untuk berkembang dan matang. Dalam andragogi, keterlibatan orang dewasa dalam proses belajar jauh lebih besar, sebab sejak awal harus diadakan suatu diagnosa kebutuhan, merumuskan tujuan, dan mengevaluasi hasil belajar serta mengimplementasikannya secara bersama-sama. Berdasarkan
pengertian ini pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu kegiatan pendidikan disamping bimbingan dan latihan
Dalam membantu penyediaan pendidikan bagi masyarakat yang karena sesuatu hal tidak terlayani dalam jalur sekolah formal. Secara konsep pendidikan nonformal harus bertumpu pada kebutuhan masyarakat, bukan pada keinginan pemerintah (Aliasar 2005). Artinya bahwa sebelum program pendidikan masyarakat dikembangkan perlu dipahami dengan benar apa dan bagaimana kebutuhan masyarakat sesungguhnya. Untuk itu perlu kajian analisis kebutuhan (need assesment) sehingga program yang disuguhkan kepada masyarakat betul-betul mereka butuhkan dan ditunjang dengan sumber daya alam sekitarnya yang dapat menunjang kepada kompetensi yang mereka miliki. Begitupun untuk pengelolaannya harus diserahkan pada masyarakat, dominasi pemerintah harus dikurangi.
Pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya dirancang oleh masyarakat untuk membelajarkan dirinya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya, dan dengan demikian konsep pendidikan berbasis masyarakat menjadi “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat . Menurut Young, (1980) mengatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat menekankan pada pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada di lingkungannya. Aspek yang sangat penting dalam pendidikan berbasis masyarakat anatara lain pendidikan sepanjang hayat, keterlibatan masyarakat, keterlibatan organisasi kemasyarakatan, dan pemanfaatan sumber daya yang kurang termanfaatkan sebagai tempat sosial.
Selain itu, Brookfield (1987) membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) dengan pendidikan berbasis sekolah (school-based education). Antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis masyarakat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkat harus relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung pada warga belajar, waktu belajarnya fleksibel, menggunakan konsep keterampilan fungsional, menggunakan pendekatan andragogi (pendidikan orang dewasa), dan tidak mengutamakan ijazah.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang berada di masyarakat, pendidikan yang menjawab kebutuhan masyarakat, dikelola oleh masyarakat, memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat, dan menuntut partisipasi masyarakat.
Metode pembelajaran orang dewasa
Konsep dan metode pembelajaran orang dewasa adalah dengan membelajarkan orang dewasa melalui pendidikan orang dewasa harus dilakukan dengan metode dan strategi yang sesuai yang disebut dengan metode andragogi. Orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan belajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. Harus dipahami bahwa orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.
Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa, orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.
Salah satu aspek penting dalam pendidikan saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai konsep pendidikan untuk orang dewasa. Tidak selamanya kita berbicara dan mengulas di seputar pendidikan murid sekolah yang relatif berusia muda. Kenyataan di lapangan, bahwa tidak sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan baik pendidikan informal maupun nonformal, misalnya pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya.
Masalah yang sering muncul adalah bagaimana kiat, dan strategi membelajarkan orang dewasa yang notabene tidak menduduki bangku sekolah. Kematangan psikologi orang dewasa sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri ini mendorong timbulnya kebutuhan psikologi yang sangat dalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa dan dimanipulasi oleh orang lain. Dengan begitu apabila orang dewasa menghadapi situasi yang tidak memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri maka dia akan merasa dirinya tertekan dan merasa tidak senang. Karena orang dewasa bukan anak kecil, maka pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak sekolah. Perlu dipahami apa pendorong bagi orang dewasa belajar, apa hambatan yang dialaminya, apa yang diharapkannya, bagaimana ia dapat belajar paling baik dan sebagainya (Lunandi, 1987).
Pemahaman terhadap perkembangan kondisi psikologi orang dewasa tentu saja mempunyai arti penting bagi para pendidik dan tenaga pendidik pendidikan nonformal dalam menghadapi orang dewasa sebagai siswa. Berkembangnya pemahaman kondisi psikologi orang dewasa semacam itu tumbuh dalam teori yang dikenal dengan nama andragogi. Andragogi sebagai ilmu yang memiliki dimensi yang luas dan mendalam akan teori belajar dan cara mengajar. Secara singkat teori ini memberikan dukungan dasar yang esensial bagi kegiatan pembelajaran orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan atau usaha pembelajaran orang dewasa memerlukan pendekatan khusus dan harus memiliki pegangan yang kuat akan konsep teori yang didasarkan pada asumsi atau pemahaman orang dewasa sebagai siswa.
Kegiatan pendidikan baik melalui jalur formal ataupun luar nonformal memiliki daerah dan kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang dewasa terutama pendidikan masyarakat bersifat nonformal sebagian besar dari siswa atau pesertanya adalah orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau remaja. Oleh sebab itu, kegiatan pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan menggunakan teori andragogi kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa dalam kerangka pembangunan atau realisasi pencapaian cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diperoleh dengan dukungan konsep teoritik atau penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Salah satu masalah dalam pengertian andragogi adalah pandangannya yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Tetapi di lain dengan perubahan yang yang sangat cepat seperti inovasi dan perkembangan teknologi, perubahan sistem, budaya, ekonomi, dan perkembangan politik. Maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika remaja akan menjadi usang ketika ia dewasa. Hal ini menuntut perubahan yang berkelanjutan (sustainability) bagi pendidik.
Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa
Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa dan kendala kendala yang sering dialami dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut;
1. Pada banyak praktek, pembelajaran untuk orang dewasa dilakukan sama saja dengan pemelajaran anak. Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak misalnya dalam kondisi wajib hadir dan semua teori mengenai transaksi guru dan siswa didasarkan pada suatu definisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan. Namun, orang dewasa dengan berbagai latar belakang budaya adalah sebagai pribadi yang sudah matang, dan mempunyai kebutuhan lain dalam hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya. Mereka merasa malu untuk belajar, apalagi kalau yang mengajar mereka lebih muda dari mereka.
2. Pendidikan orang dewasa dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun non-formal, baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun sebagai pengganti pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan kerja maupun di perguruan tinggi, yang membuat orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, memperkaya khasanah pengetahuan, meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau keprofesionalannya dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda yakni di suatu sisi mampu mengembangankan pribadi secara utuh dan dapat mewujudkan keikutsertaannya dalam perkembangan sosial budaya, ekonomi, dan teknologi secara bebas, seimbang, dan berkesinambungan.
3. Pertumbuan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai pribadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dengan begitu orang dewasa tidak menginginkan orang memandangnya apalagi memperlakukan dirinya seperti anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan orang lain akan otonomi dirinya, dan dijamin ketentramannya untuk menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan ketidaksenangan akan setiap usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti anak-anak yang beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan, pengendalian orang lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di sekeliling, terhadap dirinya.
4. Pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri; atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1983), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-actualization).
Uraian di atas sesuai dengan konsepsi Rogers dalam Knowlws (1983) mengenai belajar lebih bersifat client centered. Dalam pendekatan ini Roger mendasarkan pada beberapa hipotesa berikut ini yang merupakan rekomendasi dalam proses pelaksanaan pendidikan yang mengandung pendidikan:
1.Bahwa setiap individu hidup dalam dunia pengalaman yang selalu berubah dimana dirinya sendiri adalah sebagai pusat, dan semua orang mereaksi seperti dia mengalami dan mengartikan pengalaman itu. Ini berarti bahwa dia menekankan bahwa makna yang datang dari makna yang dimiliki. Dengan begitu, belajar adalah belajar sendiri dan yang tahu seberapa jauh dia telah menguasai sesuatu yang dipelajari adalah dirinya sendiri. Dengan hipotesa semacam ini maka dalam kegiatan belajar, keterlibatan peserta didik secara aktif mempunyai kedudukan sangat penting dan mendalam.
2.Seseorang belajar dengan penuh makna hanya apabila sesuatu yang dia pelajari bermanfaat dalam pengembangan struktur dirinya. Hal ini menekankan pentingnya program belajar yang relevan dengan kebutuhannya, yaitu yang memberi manfaat bagi dirinya. Artinya tidak sekedar memperoleh pengetahuan, tetapi yang lebih pokok adalah memperoleh keteramplian yang dapat menunjang hidupnya saat itu.
3.Penciptaan iklim yang menyenangkan, penerimaan, dan saling bantu dengan menanamkan kepercayaan dan tanggung jawab.
4.Perbedaan persepsi setiap individu diberikan perlindungan. Ini berarti di samping perlunya memberikan iklim belajar yang aman, juga perlu pengembangan otonomi kepada setiap individu.
Dalam hal ini, terkandung di dalamnya perwujudan yang ingin dikembangkan dalam aktivitas kegiatan pendidikan. Pertama untuk mewujudkan pencapaian perkembangan setiap individu, dan kedua untuk mewujudkan peningkatan keterlibatannya (partisipasinya) dalam aktivitas sosial dari setiap individu yang bersangkutan. Tambahan pula, bahwa pendidikan mencakup segala aspek pengalaman belajar yang diperlukan,
Dengan demikian hal itu dapat berdampak positif terhadap keberhasilan pembelajaran yang tampak pada adanya perubahan perilaku ke arah pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan yang memadai. Di sini, setiap individu yang berhadapan dengan individu lain akan dapat belajar bersama dengan penuh keyakinan. Perubahan perilaku dalam hal kerjasama dalam berbagai kegiatan, merupakan hasil dari adanya perubahan setelah adanya proses belajar, yakni proses perubahan sikap yang tadinya tidak percaya diri menjadi perubahan kepercayaan diri secara penuh dengan menambah pengetahuan atau keterampilannya. Perubahan perilaku terjadi karena adanya perubahan (penambahan) pengetahuan atau keterampilan serta adanya perubahan sikap mental yang sangat jelas, dalam hal pendidikan tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan, tetapi harus dibekali juga dengan rasa percaya yang kuat dalam pribadinya. Pertambahan pengetahuan saja tanpa kepercayaan diri yang kuat, niscaya mampu melahirkan perubahan ke arah positif berupa adanya pembaharuan baik fisik maupun mental secara nyata, menyeluruh dan berkesinambungan.
Perubahan perilaku dalam pembelajaran terjadi melalui adanya proses pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang lain, disebabkan produktivitas yang lebih meningkat. Bagi peserta didik pemenuhan kebutuhannya sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu terpenuhi ia dapat beralih ke arah usaha pemenuhan kebutuhan lain yang lebih masih diperlukannya sebagai penyempurnaan hidupnya.
Artinya setiap individu wajib terpenuhi kebutuhannya yang paling dasar (sandang dan pangan), sebelum ia mampu merasakan kebutuhan yang lebih tinggi sebagai penyempurnaan kebutuhan dasar tadi, yakni kebutuhan keamanaan, penghargaan, harga diri, dan aktualisasi dirinya. Bilamana kebutuhan paling dasar yakni kebutuhan fisik berupa sandang, pangan, dan papan belum terpenuhi, maka setiap individu belum membutuhkan atau merasakan apa yang dinamakan sebagai harga diri. Setelah kebutuhan dasar itu terpenuhi, maka setiap individu perlu rasa aman jauh dari rasa takut, kecemasan, dan kekhawatiran akan keselamatan dirinya, sebab ketidakamanan hanya akan melahirkan kecemasan yang berkepanjangan. Kemudian kalau rasa aman telah terpenuhi, maka setiap individu butuh penghargaan terhadap hak azasi dirinya yang diakui oleh setiap individu di luar dirinya. Jika kesemuanya itu terpenuhi barulah individu itu merasakan mempunyai harga diri. Dalam kaitan ini, tentunya pendidikan orang dewasa yang memiliki harga diri dan jati dirinya membutuhkan pengakuan, dan itu akan sangat berpengaruh dalam proses belajarnya. Secara psikologis, dengan mengetahui kebutuhan orang dewasa sebagai peserta kegiatan pendidikan/pelatihan, maka akan dapat dengan mudah dan dapat ditentukan kondisi belajar yang harus diciptakan, isi materi apa yang harus diberikan, strategi, teknik serta metode apa yang cocok digunakan.
Dalam kegiatan pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri; atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1983), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-actualization).
Seperti telah disebutkan di atas bahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa setiap orang (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan “pengertian diri  (sense of identity).
Selanjutnya, Rogers (1983) mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut.
Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak.
Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai.
Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dan orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini Kartono, 1992). Sejalan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang ditentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lebih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.
Asumsi keempat, bahwa anak-anak sudah dikondisikan untuk memiliki orientasi belajar yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered orientation) karena belajar bagi anak seolah-olah merupakan keharusan yang dipaksakan dari luar. Sedang orang dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah kehidupan (problem-centered-orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya.
Pembahasan
Pembelajaran yang diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (tutor, pengajar, pamong, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada hakekatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Percaya diri
Oleh karena sifat belajar bagi orang dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbingnya, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah terwujud.
Sistem nilai
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll). Dalam konteks ini harus dipahami latar belakang dan budaya mereka, serta kondisi ekonominya.
Keterbukaan
Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadinya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan psikologis, dan psikis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan dapat diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikan bahwa orang dewasa belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.
Pada akhirnya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan.
Kerjasama
Untuk itu perlu dikembangkan konsep Masyarakat Belajar (learning community). Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar memainkan game pada alat elektroniknya, ia bertanya kepada temannya “Bagaimana caranya? Tolong bantuin, aku!  Lalu temannya yang sudah biasa, menunjukkan cara mengoperasikan alat itu. Maka, dua orang itu sudah membentuk masyarakat belajar (learning community). Hal-hal seperti ini menjadi penting sebagai sebuah konsep dasar dalam pembelajaran pada pendidikan nonformal.
Hasil belajar diperoleh dari Ëœsharingâ„¢ antara teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, disekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar. Dalam kelompok-kelompok yang anggotanya hetorogen seharusnya anak yang terampil/kaya ide membantu yang tidak mampu, yang pandai mengajari yang lemah dan begitu seterusnya. Proses ini akan memberikan perubahan perilaku (entering behavior).
Dalam interaksi seperti ini dalam “Masyarakat belajar  perlu komunikasi dua arah. “Seorang pendidik yang mengajar siswanya  bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari pendidik ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari pendidik yang datang dari arah siswa. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
Hubungannya dengan masyarakat belajar adalah;
1.Untuk membantu masyarakat menghadapi sesuatu secara objektif
2.Untuk memperlengkapi orang dewasa dengan keterampilan memecahkan masalah
3.Untuk membantu masyarakat dalam merubah kondisi sosial mereka
4.Untuk membantu masyarakat memperoleh informasi yang diperlukan guna melengkapi kehidupan mereka.
Kegiatan saling belajar (kerjasama) ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa sungkan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak harus saling mendengarkan. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa manjadi sumber belajar, dan ini berarti bahwa setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman.
Artinya dalam membentuk masyarakat belajar, konsep pilar belajar dari UNESCO (1996:71) perlu dikembangkan seperti; learning to know, learning to do, learning to be, learning to life together, and learning to believe in God, yang merupakan akumulasi dari berbagai pengetahuan keterampilan yang diperoleh sejak masa kanak-Manusia yang telah dibekali dengan pilar Learning to know akan memiliki sejumlah pengetahuan dan ketrampilan berpikir. Gabungan pengetahuan dan ketrampilan berpikir tersebut dapat dikembangkannya untuk kemampuan berbuat, meningkatkan kualitas diri, kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain, dan peningkatan kualitas hidup sebagai makhluk yang beragama. 2) Learning to do, dalam kehidupan manusia adalah adanya dorongan untuk berkreasi, memecahkan masalah dan mengadakan inovasi-inovasi. Dasar ini berangkat dari adanya pengetahuan yang dimiliki yang digunakannya untuk identitas dirinya dan kemaslahatan orang banyak berdasarkan kepercayaan yang dimilikinya. 3) Learning to be, menjadikan manusia hidup mandiri tanpa adanya ketergantungan pada pihak lain. Berdasarkan hal ini, manusia mempunyai kebebasan untuk mendapatkan sesuatu atau bertindak. Atas dasar ini manusia tersebut bebas memilih ilmu apa yang ingin didapatkannya, bebas menentukan dalam bekerjasama dengan orang lain yang didasarkan atas norma-norma atau ajaran agama yang dianutnya. 4) Learning to live together, bahwa manusia mempunyai keselarasan hidup di tengah-tengah masyarakat. Secara bersama-sama mampu mendapatkan sejumlah pengetahuan, mampu berbuat secara bersama-sama dengan tetap menghargai perbedaan individu dan potensi masing-masing dalam kerangka bekerja bersama. Seluruh pekerjaan tersebut dapat dipertangjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 5) learning to believe in God, bahwa manusia mempunyai pegangan yang universal dalam berhubungan dengan lingkungannya dan berhubungan dengan penciptanya. Dalam artian ini bahwa pengetahuan yang dicari seseorang harus dapat memberi manfaat untuk isi alam itu sendiri, dan bagaimana mengelolanya untuk kebaikan bersama secara berkelanjutan (sustainable), yang secara religius dapat dipertanggungjawabkannya kepada Yang Maha Kuasa.
Seluruh pilar-pilar di atas merupakan kerangka dasar yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran orang dewasa dalam rangka mendorong terwujudnya struktur dan kultur masyarakat belajar sepanjang hayat, sehingga setiap orang nantinya akan memiliki kualitas hidup. Hal ini sejalan dengan amanat undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, bahwa; Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Daftar Pustaka
Aliasar (2005). Diskriminasi Dalam Pelayanan Pendidikan pada Sekolah Inklusif. Makalah disampaikan pada Seminar Analisis dengan peserta dari Dinas / Instansi terkait dalam pengembangan pPendidikan Nasional., Padang.
Aliasar dan Jamaris Jamna (2005). Catatan dari bahan perkuliahan Pendidikan Berkelanjutan. Padang: Program Doktor Pascasarjana-UNP.
Maslow, Abraham H.1966, Motivation And Personality, New York : Harper And Row Publishers.
Piaget, J. (1970). Genetic Epistemology. New York: Columbia University Press
Rogers, Everett M.1983. Diffusion of Inovation, London : MacMillan Pub.
Komisi Internasional Tentang Pendidikan untuk abad XXI, 1996, Belajar : Harta Karun di Dalamnya, Laporan Kepada UNESCO, Jakarta, Komisis Nasional Indonesia untuk UNESCO
UU.Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, BP. Cipta Jaya
Young, Kimbal. 1980 Social Psychology, Apleton Century

http://www.imadiklus.com
Read More …

“Pendidikan” mempunyai banyak pengertian, tetapi secara umum diterima sebagai suatu perubahan perilaku. Tulisan dimaksudkan bukan untuk menganalisa teori yang ada dibalik Pendidikan Orang Dewasa, melainkan untuk memahami prinsip-prinsip Pendidikan Orang Dewasa (atau yang biasa disingkat POD) yang dapat diterima. Prinsip-prinsip yang disajikan di sini pada dasarnya sama dengan yang dikembangkan pada beberapa pelatihan yang menggunakan metode instruksional, tetapi satu hal yang membedakan adalah prinsip-prinsip POD lebih dikenal secara luas.
Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan training (pelatihan) dan pendidikan, dan biasanya diterapkan pada situasi kelas formal atau untuk sistem on the job training (magang). Tiap bentuk pelatihan sebaiknya memuat sebanyak mungkin 9 prinsip yang tersebut di bawah ini. Supaya kita mudah mengingatnya (9 prinsip tersebut), maka biasanya digunakn sistem jembatan keledai atau istilah asingnya mnemonic, yaitu RAMP 2 FAME.
R = Recency
A = Appropriateness
M = Motivation
P = Primacy
2 = 2 – Way Communication
F = Feedback
A = Active Learning
M = Multi – Sense Learning
E = Excercise
Prinsip-prinsip ini dalam berbagai cara sangat penting, karena memungkinkan Anda (pelatih) untuk menyiapkan satu sessi secara tepat dan memadai, menyajikan sessi secara efektif dan efisien, juga memungkinkan anda melakukan evaluasi untuk sessi tersebut. Mari kita coba lihat ide-ide yang melatarbelakangi istilah RAMP 2 FAME. Penting untuk dicatat bahwa prinsip-prinsip ini tidak disajikan dalam satu urutan. Kedudukannya sama dalam satu kaitan antar hubungan.
R – RECENCY
Hukum dari Recency menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu yang dipelajari atau diterima pada saat terakhir adalah yang paling diingat oleh peserta/ partisipan. Ini menunjukkan dua pengetian yang terpisah di dalam pendidikan. Pertama, berkaitan dengan isi (materi) pada akhir sessi dan kedua berkaitan dengan sesuatu yang “segar” dalam ingatan peserta. Pada aplikasi yang pertama, penting bagi pelatih untuk membuat ringkasan (summary) sesering mungkin dan yakin bahwa pesan-pesan kunci/inti selalu ditekankan lagi di akhir sessi. Pada aplikasi kedua, mengindikasikan kepada pelatih untuk membuat rencana kaji ulang (review) per bagian di setiap presentasinya.
Faktor-faktor untuk pertimbangan tentang recency
  • Usahakan agar tiap sessi yang diberikan berjangka waktu yang relatif pendek, tidak lebih dari 20 menit (jika itu memungkinkan).
  • Jika sessi lebih dari 20 menit, harus sering diringkas (direkap). Sessi yang lebih panjangsebaiknya dibagi-bagi ke dalam sessi-sessi yang lebih pendek dengan beberapa jeda sehingga anda dapat membuat ringkasan.
  • Akhir dari tiap sessi merupakan suatu yang penting. Buatlah ringkasan/rekap dari keseluruhan sessi dan beri penekanan pada pesan-pesan atau poin-poin kunci.
Upayakan agar peserta/partisipan tetap “sadar” kemana arah dan perkembangan dari belajar mereka
A : APPROPRIATENES (Kesesuaian)
Hukum dari appropriatenes atau kesesuaian mengatakan kepada kita bahwa secara keseluruhan, baik itu pelatihan, informasi, alat-alat bantu yang dipakai, studi kasus -studi kasus, dan material-material lainnya harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta/partisipan. Peserta akan mudah kehilangan motivasi jika pelatih gagal dalam mengupayakan agar materi relevan dengan kebutuhan mereka. Selain itu, pelatih harus secara terus menerus memberi kesempatan kepada peserta untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara informasi-informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya yang sudah diperolah peserta, sehingga kita dapat menghilangkan kekhawatiran tentang sesuatu yang masih samar atau tidak diketahui.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan mengenai appropriatness :
  • Pelatih harus secara jelas mengidentifikasi satu kebutuhan bagi peserta agar mengambil bagian dalam pelatihan. Dengan kebutuhan yang teridentifikasi, pelatih harus yakin bahwa sehala sesuatu yang berhubungan dengan sessi sesuai dengan kebutuhan tersebut.
  • Gunakan deskripsi, contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi yang akrab (familiar) dengan peserta.
M: MOTIVATION (motivasi)
Hukum dari motivasi mengatakan kepada kita bahwa pastisipan/peserta harus punya keinginan untuk belajar, dia harus siap untuk belajar, dan harus punya alasan untuk belajar. Pelatih menemukan bahwa jika peserta mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar atau rasa keinginan untuk berhasil, dia akan lebih baik dibanding yang lainnya dalam belajar. Pertama-tama karena motivasi dapat menciptakan lingkungan (atmosphere) belajar menjadi menye-nangkan. Jika kita gagal menggunakan hukum kesesuaian (appropriateness) tersebut dan mengabaikan untuk membuat material relevan, kita akan secara pasti akan kehilangan motivasi peserta.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan mengenai motivasi:
  • Material harus bermakna dan berharga bagi peserta, tidak hanya bagi pelatih
  • Yang harus termotivasi bukan hanya peserta tetapi juga pelatih itu sendiri. Sebab jika pelatih tidak termotivasi, pelatihan mungkin akan tidak menarik dan bahkan tidak mencapai tujuan yang diinginkan.
  • Seperti yang disebutkan dalam hukum kesesuaian (appropriateness), pelatih suatu ketika perlu mengidentifikasi satu kebutuhan kenapa peserta datang ke pelatihan. Pelatih biasanya dapat menciptakan motivasi dengan mengatakan bahwa sessi ini dapat memenuhi kebutuhan peserta.
  • Bergeraklah dari sisi tahu ke tidak tahu. Awali sessi dengan hal-hal atau poin-poin yang sudah akrab atau familiar bagi peserta. Secara perlahan-lahan bangun dan hubungkan poin-poin bersama sehingga setiap tahu kemana arah mereka di dalam proses pelatihan.
P : PRIMACY (Menarik Perhatian di awal sessi)
Hukum dari primacy mengatakan kepada kita bahwa hal-hal yang pertama bagi peserta biasanya dipelajari dengan baik, demikian pula dengan kesan pertama atau serangkaian informasi yang diperoleh dari pelatih betul-betul sangat penting. Untuk alasan ini, ada praktek yang bagus yaitu dengan memasukkan seluruh poin-poin kunci pada permulaan sessi. Selama sessi berjalan, poin-poin kunci berkembang dan juga informasi-informasi lain yang berkaitan. Hal yang termasuk dalam hukum primacy adalah fakta bahwa pada saat peserta ditunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, mereka harus ditunjukkan cara yang benar di awalnya. Alasan untuk ini adalah bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk “tidak mengajari” peserta pada saat mereka membuat kesalahan di permulaan latihan.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan mengenai primacy:
  • Sekali lagi, upayakan sessi-sessi diberikan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Sebaiknya sekitar 20 menit seperti yang disarankan dalam hukum recency.
  • Permulaan sessi anda akan sangat penting. Seperti yang anda ketahui bahwa sebagian banyak peserta akan mendengarkan, dan oleh karena itu buatlah semenarik mungkin dan beri muatan informasi-informasi penting ke dalamnya.
  • Usahakan agar peserta selalu “sadar” arah dan perkembangan dari belajarnya.
  • Yakinkan peserta akan memperoleh hal-hal yang tepat pada saat anda pertama kali meminta mereka melakukan sesuatu
2 : 2- WAY COMMUNICATION (Komunikasi 2 arah)
Hukum dari 2-way-communication atau komunikasi 2 arah secara jelas menekankan bahwa proses pelatihan meliputi komunikasi dengan peserta, bukan pada mereka. Berbagai bentuk penyajian sebaiknya menggunakan prinsip komunikasi 2 arah atau timbal balik. Ini tidak harus bermakna bahwa seluruh sessi harus berbentuk diskusi, tetapi yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara pelatih/fasilitator dan peserta/partisipan.
Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai 2-way communication:
  • Bahasa tubuh anda juga berkaitan dengan komunikasi 2 arah: anda harus merasa yakin bahwa itu tidak bertentangan dengan apa yang anda katakan.
  • Rencana sessi anda sebaiknya memiliki interaksi dengan siapa itu dirancang, yaitu tak lain adalah peserta.
F: FEEDBACK (Umpan Balik)
Hukum dari feedback atau umpan balik menunjukkan kepada kita, baik fasilitator dan peserta membutuhkan informasi satu sama lain. Fasilitator perlu mengetahui bahwa peserta mengikuti dan tetap menaruh perhatian pada apa yang disampaikan, dan sebaliknya peserta juga membutuhkan umpan balik sesuai dengan penampilan/kinerja mereka.
Penguatan juga membutuhkan umpan balik. Jika kita menghargai peserta (penguatan yang positif) untuk melakukan hal-hal yang tepat, kita mempunyai kesempatan yang jauh lebih besar agar mereka mengubah perilakunya seperti yang kita kehendaki. Waspada juga bahwa terlalu banyak penguatan negatif mungkin akan menjauhkan kita memperoleh respon yang kita harapakan.
Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai feedback:
  • Peserta harus diuji (dites) secara berkala untuk umpan balik bagi fasilitator
  • Pada saat peserta dites, mereka harus memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka sesegera mungkin.
  • Tes bisa juga meliputi pertanyaan-pertanyaan yang diberikan fasilitator secara berkala mengenai kondisi kelompok
  • Semua umpan balik tidak harus berupa yang positif, seperti yang dipercaya banyak orang. Umpan balik positif hanya setengah dari itu dan hampir tidak bermanfaat tanpa adanya umpan balik negatif
  • Pada saat peserta berbuat atau berkata benar (misal menjawab pertanyaan), sebut atau umumkan itu (di hadapan kelompok/peserta lain jika itu mungkin).
  • Persiapkan penyajian anda sehingga ada penguatan positif yang terbangun di awal sessi.
  • Perhatikan betul-betul peserta yang memberi umpan balik positif (berbuat betul) sama halnya kepada mereka yang memberi umpan balik negatif (melakukan kesalahan).
A : ACTIVE LEARNING (Belajar Aktif)
Hukum dari active learning menunjukkan kepada kita bahwa peserta belajar lebih giat jika mereka secara aktif terlibat dalam proses pelatihan. Ingatkah satu peribahasa yang mengatakan “Belajar Sambil Bekerja” ? Ini penting dalam pelatihan orang dewasa. Jika anda ingin memerintahkan kepada peserta agar menulis laporan, jangan hanya memberitahu mereka bagaimana itu harus dibuat tetapi berikan kesempatan agar mereka melakukannya. Keuntungan lain dari ini adalah orang dewasa umumnya tidak terbiasa duduk seharian penuh di ruangan kelas, oleh karena itu prinsip belajar aktif ini akan membantu mereka supaya tidak jenuh.
Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai active learning:
  • Gunakan latihan-latihan atau praktek selama memberikan instruksi
  • Gunakan banyak pertanyaan selama memberikan instruksi
  • Sebuah kuis cepat dapat digunakan supaya peserta tetap aktif
  • Jika memungkinkan, biarkan peserta melakukan apa yang ada dalam instruksi
Jika peserta dibiarkan duduk dalam jangka waktu lama tanpa berpartisipasi atau diberi pertanyaan-pertanyaan, kemungkinan mereka akan mengantuk /kehilangan perhatian.
M : MULTIPLE -SENSE LEARNING
Hukum dari multi- sense learning mengatakan bahwa belajar akan jauh lebih efektif jika partisipan menggunakan lebih dari satu dari kelima inderanya. Jika anda memberitahu trainee mengenai satu tipe baru sandwich mereka mungkin akan mengingatnya. Jika anda membiarkan mereka menyentuh, mencium dan merasakannya dengan baik, tak ada jalan bagi mereka untuk melupakannya.
Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai multiple-sense learning:
  • Jika anda memberitah/mengatakan sesuatu kepada peserta, cobalah untuk menunjukkannya dengan baik
  • Gunakan sebanyak mungkin indera peserta jika itu perlu sebagai sarana belajar mereka, tetapi jangan sampai lupa sasaran yang ingin dicapai
  • Ketika menggunakan multiple-sense learning, anda harus yakin bahwa tidak sulit bagi kelompok untuk mendengarnyaa, melihat dan menyentuh apapun yang anda inginkan.
Saya dengar dan saya lupa
Saya lihat dan saya ingat
Saya lakukan dan saya paham

(Confusius, 450 SM)
E. EXERCISE (Latihan)
Hukum dari latihan mengindikasikan bahwa sesuatu yang diulang-ulang adalah yang paling diingat. Dengan membuat peserta melakukan latihan atau mengulang informasi yang diberikan, kita dapat meningkatkan kemungkinan mereka semakin mampu mengingat informasi yang sudah diberikan. Yang terbaik adalah jika pelatih menambah latihan atau mengulangi pelajaran dengan mengulang informasi dalam berbagai cara yang berbeda. Mungkin pelatih dapat membicarakan mengenai suatu proses baru, lalu menunjukkan diagram/overhead, menunjukkan produk yang sudah jadi dan akhirnya minta kepada peserta untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Latihan juga menyangkut intensitas. Hukum dari latihan juga mengacu pada pengulangan yang berarti atau belajar ulang.
Faktor-faktor untuk pertimbangan dalam exercise:
  • Semakin sering trainee mengulang sesuatu, semakin mereka mengingat informasi yang diberikan
  • Dengan memberikan pertanyaan berulang-ulang kita meningkatkan latihan
  • Peserta harus mengulang latihannya sendiri, tetapi mencatat tidak termasuk di dalamnya
  • Ringkaslah sesering mungkin karena ini bentuk lain dari latihan. Buatlah selalu ringkasan saat menyimpulkan sessi
  • Buat peserta selalu ingat secara berkala apa yang telah sidajikan sedemikian jauh dalam presentasi
  • Sering disebutkan bahwa tanpa beberapa bentuk latihan, peserta akan melupakan 1/4 dari yang mereka pelajari dalam 6 jam, 1/3 dalam 24 jam, dan sekitar 9 % dalam 6 minggu.
Kesimpulan
Prinsip-prinsip dari belajar berkaitan kepada pelatihan dan pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut digunakan di seluruh sektor/area, baik dalam ruang kelas atau sistem magang. Prinsip-prinsip ini dapat digunakan kepada anak-anak dan remaja sebaik kepada orang dewasa. Instruksi yang efektif harus menggunakan sebanyak mungkin prinsip-prinsip ini, jika tidak keseluruhan-nya. Pada saat anda merencanakan satu sessi, lihat keseluruhan draft untuk meyakinkan bahwa prinsip-prinsip telah digunakan dan jika tidak, mungkin perlu suatu revisi (perbaikan).
Sumber : Diambil dari Bahan TOT Pemberdayaan Komite Sekolah. 2006
http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Read More …